Sunday, 8 January 2017

USHUL FIQH

HAKIM, MAHKUM FIH DAN  MAHKUM 'ALAIH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam mempunyai berbagai macam aturan dan hukum. Hukum-hukumtersebut ditetapkan tuhan demi tercipta suatu kehidupan yang berorientasi pada kebahagiaan umat, baik di dunia maupun diakhirat.
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selalu berhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalah tentang hukum syar’i.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan hakim?
2.      Apakah yang dimaksud dengan mahkum fih apa syarat-syaratnya?
3.      Apakah yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih dan apa syarat-syaratnya?
4.      Bagaimanakah korelasi antara hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan hakim
2.      Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan mahkum fih apa syarat-syaratnya?
3.      Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih dan apa syarat-syaratnya?
4.      Untuk mengetahui Bagaimanakah korelasi antara hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih.


BAB I
PEMBAHASAN

A.    Hakim
1.      Pengertian
Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa indonesia, yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa arab, yaitu orang yang memutuskan dan menetapkan hukum, yang menetapkan segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata hakim juga digunakan untuk menunjukkan pengertian hakim di pengadilan. Untuk pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qadhi (kadi). Dari segi terminologi fiqh, kata hakim atau qadhi juga menunjuk pengertian hakim yang mengutus perkara di pengadilan.[1]
Yang dimaksud dengan hakim di sini bukanlah pemegang kekuasaan (pemerintahan), tetapi Al Hakim di sini ialah siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan manusia (Al Af'aal) dan atas benda-benda (Al-Asy-yaa').
          Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian :
وَاضِعُ الْاَحْكَام وَمُثَبَّتُهَا وَمُنْثِئُهَا وَمَصَدِّرُهَا
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum”.
الَّذِيْ يُدْرِكُ الْاَحْكَامِ وَيَظْهَرُ هَا وَيُعَرِّفُهَا وَيَكْشِفُ عَنْهَا
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum”.[2]
Adapun menurut terminologi usul fiqh, kata hakim menunjuk pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki. Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-Nya (al-Hakim Huwa Allah; al-hakim adalah Allah.  
Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim ialah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah, karena hukum menurut mereka ialah khitab (pernyataan) al syari’( Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik itu tuntutan, pilihan ataupun hukum wadli (sebab, syarat, dan mani’). Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan firman Allah:
Artinya : Katakanlah (Muhammad), Aku (berada) diatas keterangan yang nyata (al-Qur’an ) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan adzab) yangkamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu)  hanyalah hak  Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik. (QS.Al-An’am: 57)
Dari sini jelas pula, bahwa yang memiliki wewenang menetapkan dan membuat hukum ialah Allah SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para Rasul-Nya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia. Mereka ialah para rasul Allah serta para ulama’ sebagai pewaris beliau.[3]
Semua ulama sepakat menytakan, hanya Allah yang berhak mencipta dan menetapkan perintah dan larangan, dan sejalan dengan itu, hamba-hambanya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangn-Nya. Hamba Allah yang patuh akan diberi pahala dan surga, sedangkan yang durhaka dikenai dosa dan siksa.
Dalam konteks penetapan hukum, di lingkungan ulama usul fiqh dikenal dua istilah yaitu Al-mutsbit li al-hukm (yang menetapkan hukum) dan Al-muzhhiri li al-hukm (yang membuat hukum menjadi nyata). Yang dimaksud dengan Al-mutsbit li al-hukm ialah, yang berhak membuat danmenetapkan hukum. Yang berhak membuat dan menetapkan hukum hanyalah Allah. Tidak siapapun yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan tetapi perlu ditegaskan kembali, selain digunakan istilah al-Hakim untuk menunjuk pengertian bahwa Allah pembuat hukum satu-satunya, dikenal pula istilah asy-Syari’ (pembuat syari’at). Dalam ini, istilah al-Hakim dan asy-Syari’ selain bermakna Allah pencipta dan pembuat hukum, harus pula ditambahkan Rasulullah, bukan karena beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan syari’at, tetapi karena beliau diberi tugas, antara lain, menjelaskan aturan-aturan hukum syari’at yang juga bersumber dari wahyu Allah. Dalam konteks inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah, yaitu yang biasa disebut dengan istilah wahyu matluw (wahyu yang di bacakan/Al-qur’an) dan wahyu ghair matluw (wahyu yang tidak di bacakan/al-Hadits/ as-Sunnah).
Pada hakikatnya, tidak ada satu pun perbuatan manusia (baik dalam bentuk aktif maupun pasif; gerak dan diam manusia) yang tidak ada hukumnya, karena segala sesuatu telah ditetapkan hukumnya oleh Allah melalui Al-qur’an dan hadis rasul-Nya. Hanya saja, hukum yang telah ditetapkan Allah itu, ada yang jelas dan nyata hukumnya, dan ada pula yang masih tersembunyi dan samar bagi manusia. Untuk menentukan hukum yang tersembunyi itu, dipeerlukan upaya ijtihad dengan cara menggalinya (istinbath al-ahkam) melalui alat-alat ijtihad, seperti: ijma’, qiyas  dan lain-lain, dari sumbernya yang telah tersedia yaitu Al-qur’an dan hadis, sehingga hukum Allah yang tersembunyi itu menjadi diketahui dan nyata bagi manusia. Mujtahid yang ber-ijtihad berperan menggali dan menemukan hukum Islam yang tersembunyi itulah yang disebut dengan al-muzhhir li al-hukum. Karena itu, mujtahid hanya berperan membuat nyata dan terang hukum-hukum Allah yang masih tersembunyi, bukan menciptakan dan menetapkan hukum secara tersendiri.
2.      Kriteria Baik Dan Buruk Suatu Perbuatan Sebelum Diutusnya Rasulullah SAW
Ketika rasul sudah diutus dan seruannya telah sampai kepada manusia, maka disini tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan mereka ialah Allah SWT. Yang menjadi perselisihan ialah tentang siapakah yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasul diutus. Dengan kata lain sebelum rasul diutus, bagaimana kriteria baik buruknya suatu perbuatan.
a.      Pandangan kelompok mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum diutus, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik buruknya suatu perbuatan, baik berdasar pada hakikat atau sifat perbuatan itu. Dasar mazhab ini, bahwa baik dari perbuatan itu bila mengandung keuntungan, perbuatan jelek karena mengandung madharat.[4]
Manusia dengan kemampuan akalnya dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk. Sebagian perbuatan baik, dan buruk itu dapat diketahui dengan mudah tampa harus memikirkannya terlebih dahulu, seperti: berkata benar adalah baik sedangankan berdusta adalah buruk. Kemudian, sebagian baik dan buruk baru dapat diketahui setelah memikirkannya secara mendalam, seperti: berkata benar adalah baik meskipun menimbulkan bahaya, dan berkata dusta adalah buruk, meskipun membawa manfaat. Pada kedua bentuk perbuatan baik dan buruk yang dapat diketahui manusia melalui akalnya ini, wahyu yang dibawa oleh para rasul Allah hanya berperan sebagai konfirmasi atas baik dan buruk yang diketahui manusia dengan akalnya itu.
Sementara ada sebagian kecil perbuatan baik dan buruk yang tidak dapat diketahui akal manusia kecuali diberi tahu oleh Allah melalui wahyu, seperti: perbuatan salat, puasa dan haji dengan tata cara sebagaimana yang diajarkan syariat. Pada bentuk perbuatan ini, wahyu berperan memberi informasi tentang baik dan buruk.
Terhadap perbuatanbaik dan buruk yang dapat diketahui manusia dengan akalnya, manusia diperintahkan Allah untuk melakukan perbuatan baik, dan akan diberikan pahala karena berbuat baik. Serta dilarang berbuat buruk dan akan dikenai dosa karena berbuat buruk. Meskipun Allah belum menurunkan bimbingan wahyu malalui pengutusan Rasul-Nya. Sementara untuk perbuatan yang tidak mungkin diketahui manusia kecuali melalui wahyu, manusia tidak dibebani kewajiban untuk menjalankannya, sebelum datangnya wahyu dan pengutusan rasul.
b.      Pandangan Kelompok Maturidiyah
Kelompok maturidiyah sependapat dengan kelompok Mu’tazilah yang mengatakan, manusia dengan akalnya, dapat mengetahui sebagian besar perbuatan baik dan buruk. Akan tetapi mereka menolak pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa manusia diperintahkan untuk berbuat baik, yang karenanya diberi pahala, dan dilarang berbuat buruk yang karenanya dikenai dosa, sebelum turunnya wahyu melalui pengutusan rasul.
Argumen yang di kemukakan Maturidiyah adalah firman Allah pada surah Al-Isra’ (17): 15:
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengenakan ‘azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
c.       Pandanga Kelompok Asy’ariyyah
Golongan Asy’ariyyah berpendapat, akal manusia tidak dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk, karena baik dan buruk bukan pada esensi perbuatan, melainkan karena diberi sifat baik atauburuk oleh Allah melalui wahyu. Oleh karena itu, manusia tidak berkewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk sebelum datangnya wahyu yang dibawa rasul Allah. Dengan kata lain, sebelum datangnya wahyu, manusia tidak dikenai beban taklif. Argumen yang dikemukakan Asy’ariyyah untuk mendukung pendapat mereka adalah ayat surah al-isra’ yang telah di sebut di atas.
Perlu ditegaskan lagi, perbedan pendapat di atas berkenaan dengan perbuatan manusia sebelum turunnya wahyu. Perbedaan pendapat tersebut menjadi tidak relevan setelah turunnya wahyu, karena ketiga kelompok tersebut sependapat, setelah datangnya Rasulullah memnawa wahyu, maka yang menjadi standar baik dan buruk adalah wahyu.[5]

B.     Objek Hukum (Mahkum Fih)
1.      Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \ مَحْكُوم فِيْه ِ)
المَحْكُومُ فِيْهِ : هُوَ الفِعْلُ الُمكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ الله
“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’) dan rasulnya yang bersifat tuntutan mengerjakan , tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat sebab, halangan, azimah, rukshah, sah dan bathal”.[6]
Mahkum fiihi juga diartikan perbuatan orang mukhallaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’. Misalnya firman Allah:
يآاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْ  ابَالْعُقُوْجِ
Artinya : "hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji."
Dalam firman Allah tersebut yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan orang mukhallaf yaitu perbuatan menyempurnakan janji. Sebab menyempurnakan janji bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu: 1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
Contoh firman Allah SWT:
نَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُو
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS al-Baqoroh/2 : 183).
Firman Allah SWT di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yaitu berpuasa, status hukumnya adalah wajib.
2. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut:
a.       Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’. Misalnya,  firman Allah SWT :
اَقِيْمُوْا الصَّلوةَ
Artinya : "Dirikanlah shalat"
Dalam nash Al-Qur'an belum dijelaskan rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan cara-cara menunaikannya. Sebab nash Al-Qur'an itu sifatnya masih global. Maka Rasulullah menjelaskan nash Al-Qur'an tersebut :
صَلُّوْا كَمَارَأَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى
Artinya : "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sedang menunauikan shalat".
Jadi tidak sah menggunakan khitob yang global sebab hal tersebut tidak diketahui maksudnya. Kecuali setelah ada penjelasan mengenai hal itu.[7]
b.      Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.
c.       Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
Dari syarat ini bercabanglah 2 (dua) hal :
1)      Menurut syara' tidak sah membebani hal yang mustahil (yang tidak mungkin bisa dilakukan). Misalnya : mengumpulkan dua hal yang berlawanan. Contoh : tidur dan bangun di waktu yang sama.
Pendapat ulama ushuliyah :
الشخص الواحد فى الوقت الواحد بالشئ الواحد لايئ مر ولا ينهى
"Satu orang dalam satu waktu dengan satu hal tidak bisa diperintah dan tidak bisa dilarang".[8]
2)      Menurut syara' tidak sah membebani mukallaf agar selain dia mengerjakan perbuatan atau mencegahnya. Contoh :
لاَتَمُوتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Artinya : "Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam" (Q.S. Al-Baqarah : 132).
Lahirnya adalah membebani mereka sekarang agar mereka itu ketika mati dalam keadaan Islam.[9]
d.      Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.

C.    Subjek Hukum (Mahkum ‘Alaih)
1.      Pengertian
Para ulama usul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih
( اَلْمَحْكُمْ عَلَيْهِ  ) adalah seseorang yang dikenai khitab allah ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf (اَلْمُكَلَّفُ ).
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqih,istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (dalam subjek). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[10]
2.       Syrat-Syarat Mukallaf
Mengenai sahnya memberi beban kepada mukallaf, dalam syara disyaratkan dua syarat:
a.       Mukallaf dapat memahami dalil taklif, seperti jika dia mampu memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al-Quran dan as-Sunnah dengan langsung atau dengan perantara. Karena orang yang tidak mampu memahami taklif, dia tidak dapat mengikuti yang dibebankan kepadanya, dan tujuannya tidak mengarah kesana. Sedangkan kemampuan memahami dalil itu hanya nyata dalam akal, dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan kepada orang-orang yang punya akal itu dapat diterima pemahamanya oleh akal mereka. Karena akal itu ialah alat untuk memahami dan menjangkau.[11]
Adapun orang-orang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil tuntutan syara dari al-Quran dan as-Sunnah,maka jalan keluarnya untuk menagtasinya ditempuh melalui beberapa jalan, yaitu:
a)      Menerjemahkan Al-Qur’an dan As Sunnah ke dalam beberapa bahasa, atau ke dalam bahasa mereka.
b)      Menyeru orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk mempelajari bahasa arab agar dapat kita sampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah.
Wajib kita mengadakan segolongan dari umat kita untuk mempelajari bahasa asing dengan sempurna, guna menyampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah kepada orang asing itu. Dalil kewajiban itu berdasarkan :
اَن يَبْلُغَ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الغَائِبِ   
Artinya :”Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir diantara kamu.[12]
b.      Mukallaf ialah orang yang ahli sesuatu yang dibebankan kepadanya.
D. Ahliyah
1.      Pengertian Ahliyah
Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut. Adapun secara terminologi menurut para ahli ushul fiqh ahliyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.
2.      Pembagian Ahliyah
Menurut para ulama’ ushul fiqh, ahliyah (kepantasan) itu ada dua macam yaitu:
a)      Ahli Wajib (Ahliyyatul Wujub)
1)      Pengertian
  اَهْلِيَّةُ الوُجُوْبِialah kepantasan seseorang mempunyai hak dan kewajiban.
ü  Yang dimaksud dengan hak ialah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain.
ü   Kewajiban ialah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain.
Jadi ahliyyatul wujub itu ialah kelayakan seseorang untuk ada padanya dalam  keputusan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain. [13]
2)      tingkatan ahliyyah al-wujub
ü  Ahliyah al-wujub al-qashirah(kecakapan melaksanakan kewajiban secara tidak sempurna)
Maksudnya, kecakapan seseorang yang tidak sempurna untuk melaksanakan semua kewajiban dan menerima semua hak, sebagaimana yang dapat diberikan kepada mukallaf yang sempurna. Contohnya, janin dalam kandungan. Janin dipandang cakap menerima hak tertentu, seperti warisan dan wasiat. Hak tersebut menjadi haknya yang nyata, apabila janin dilahirkan dalam keadaan hidup. Akan tetapi, janin tidak dibebani kewajiban apapun, karena ia tidak cakap memikul kewajiban. Sebaliknya, contoh yang hanya dikenai kewajiban tertentu tetapi tidak diberi hak apapun ialah, orang yang telah wafat. Orang yang telah wafat di pandang tidak cakap untuk menerima hak karena kewafatannya, tetapi ia dikenakan kewajiban membayar utang semasa hidupnya. Tentu saja kewajiban pembayaran hutang tersebut hanya diambilkan dari harta warisan yang ditinggalkannya. Adapun hak dan kewajiban lainnya, terutama kewajiban kepada Allah.
ü  Ahliyyah al-wujub al-kamilah (kecakapan melaksanakan kewajiban secara sempurna)
Adapun yang dimaksud dengan ahliyyah al-wujub al-kamilah ialah, seseorang yang secara potensial dipandang sempurna memiliki kecakapan untuk dikenai kewajiban sekaligus diberi hak. Contohnya ialah bayi. Bayi dipandang cakap menerima hak menerima harta warisan dan pewarisannya, sekaligus dipandang cakap dikenai kewajiban tertentu, seperti: kewajiban zakat fitrah, da kewajiban zakat atas hartanya menurut sebagian para ulama.
b)      Ahli Melaksanakan (Ahliyyatul Ada’)
1)      pengertian
  اَهْلِيَّةُ اْلاَدَاءِ    ialah kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh syara’. Sekira apabila keluar dari padanya akad (contract) tasharruf (pengelolaan ), maka menurut syara akad  atau tasharruf itu bisa diperhitungkan adanya, dan terjadi tertib hukum atasnya. Apabila mukallaf mendirikan shalat, atau puasa atau mengerjakan kewajiban apa saja, maka semua itu menurut syara’ bisa diperhitungkan, dan bisa menggugurkan kewajiban mukallaf. Dan apabila mukallaf membuat pidana atas orang lain dalm soal jiwa, harta, kehormatan, maka dia dihukum sesuai dengan pidananya itu dengan bentuk fisik dan harta. [14]
2)      pembagian ahliyyah al-ada’
ü  ‘adim al-ahliyyah (tidak memiliki kecakapan)
Adapun yang dimaksud dengan ‘adim al-ahliyyah yaitu: yang sama sekali tidak memiliki kecakapan bertindak secara hukum. Mereka ini adalah yang berusia antara nol sampai tujuh tahun. Pada usia ini seseorang dipandang sama sekali belum memiliki akal yang dapat mempertimbangkan perbuatannya. Meskipun pada usia ini ia belum disebut mukallaf, namun sebagian ulama berpendapat, harta yang dimilikinya (mungkin bersumber dari harta warisan, hibah, dan lain-lain), dikenakan kewajiban zakat.
ü  Ahliyyah al-ada’ al-qashirah (kecakapan bertindak tidak sempurna)
Adapun yang dimaksud dengan Ahliyyah al-ada’ al-qashirah ialah, yang memiliki akal yang belum sempurna, yaitu berusia antara tujuh tahun sampai sebelum berusia dewasa, sebagian tindakannya dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum.
ü  Ahliyyah al-ada’ al-kamilah (kecakapan bertindak secara sempurna)
Adapun yang dimaksud dengan Ahliyyah al-ada’ al-kamilah,yaitu, seseorang yang telah memiliki akal yang sempurna, yaitu yang telah mencapai usia dewasa sehingga, dipandang telah mukallaf, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya.
3.      Halangan Ahliyah
Faktor-Faktor Penghalang Kecakapan Bertindak Secara Hukum (‘Awaridh Al-Ahliyyah)
a)      Al-awaridh as-samawiyyah
Adapun yang dimaksud dengan Al-awaridh as-samawiyyah ialah, halangan kecakapan bertindak secara hukum yang timbul dari luar diri seseorang yang bukan merupakan akibat dari kehendak dan perbuatannya. Halangan ini terdiri atas beberapa macam sebagai berikut:
1)      Usia anak-anak
2)      Gila (al-junun), baik yang berwaktulama dan berkelanjutan maupun gila yang bersipat sementara dan tidak berkelanjutan
3)      Lemah akal (al-‘atah)
4)      Tidur (an-naum) dan pingsan (al-ighma’)
5)      Lupa(an-nisyan)
6)      Sakit (al-maradh)
7)      Haid dan nifas
8)      Mati (al-maut)
9)      Bodoh (as-safah)
b)      Al-awaridh al-muktasabah
Yang dimaksud dengan Al-awaridh al-muktasabah yaitu, halangan kecakapan bertindak secara hukum yang timbul dari dalam diri seseorang, baik akibat perbuatannya,ataupun karena adanya kehendak dalam dirinya yang membuatnya terhalang. Halang dalam bentuk ini ada beberapa macam sebagai berikut:
1)      Mabuk (as-sakr)
2)      Ketidaktauan (al-jahl)
3)      Tesalah (al-khatha’)
4)      Terpaksa (al-ikrah)
5)      Berpergian (as-safar).[15]

D. Korelasi Antara Hakim, Mahkum Fih Dan Mahkum ‘Alaih
1.      Korelasi antara hakim dengan mahkum fih
Hubungan antara hakim dengan mahkum fih ialah bahwa hakim ialah sang pembuat hukum sedangkan mahkum fih ialah objek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya mahkum fih maka hakim tidak akan nyata, dan apabila mahkum fih secara substansi perbuatan dan sandaran berkaitan dengan hokum syar’i maka yang menghukumi ialah hakim.
2.      Korelasi antara hakim dengan mahkum ‘alaih
Hubungan antara hakim dengan mahkum alaih ialah bahwa hakim ialah sang pembuat hukum sedangkan mahkum alaih ialah subjek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya hakim maka mahkum alaih tidak akan nyata, dan apabila orang mahkum alaih melakukan suatu pelanggaran baik berkaitan dengan Allah (hakim) langsung atau berkaitan dengan sesama mahkum alaih maka yang menghukumi ialah hakim.





BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Hakim menurut etimologi ialah pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum, yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkap hukum. Adapun menurut terminologi usul fiqh, kata hakim menunjuk pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki.
Al-Hakim yang muthlaq hanyalah Allah SWT. Namun, dengan adanya manusia maka untuk menegakkan hukum-Nya, Allah mengutus Rasul untuk menyampaikan risalah tersebut. Kemudian setelah Nabi tiada, tugas itu menjadi tugas para mujtahid, ulama’, serta umat muslim itu sendiri untuk menegakkan hukum Allah SWT.
Mahkum fih adalah objek hukum yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, serta halangan.
Mahkum ‘alaih (subjek hukum) dalam kajian ushul fiqh adalah mukallaf, yaitu orang yang kepadanya khitbah Allah diarahkan. Mukallaf adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk bertindak secara hukum, sehingga ia pantas untuk menerima titah melakukan perbuatan, atau meninggalkan perbuatan, atau memelihara antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.

B.     Saran
Sebagai seorang mahasiswa hendaklah kita lebih mempelajari ilmu ushul fiqh, agar kita tidak keliru dalam menetapkan suatu hukum. Dan kita bisa membedakan yang wajib, sunnah, makruh dan haram. Selain itu, hendaklah kita mengamalkan ilmu ushul fiqh dalam kehidupan sehari-hari agar kita sebagai mukallaf bisa melakukan tugas dan kewajiban kita dengan baik. Sehingga kita selalu berada dijalan yang benar dan setiap tindakan yang kita lakukan sesuai dengan ajaran al-qur’an dan hadis.



[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta, 2011, Hal. 87
[2] Drs. Totok Jumantoro, M.A,dkk.,Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah, T.t, 2005
[3] Drs. Muin Umar,dkk., Ushul Fiqh 1, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, 1985, hal. 26
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet ke.6, 1996, hal. 150
[5] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta, 2011, hal. 88-91
[6] Drs. Chaerul Umam, dkk.,Ushul Fiqih I, CV. Pusaka Setia, Bandung, 2000, hal. 329
[7] Drs. Totok Jumantoro, M.A,dkk., Op.cit., hal. 186
[8] Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit., hal.201
[9] Karim Syafi'i, Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hal. 138.
[10] Drs. Chaerul Umam, dkk., Op.Cit., hal. 327
[11] Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit.,
[12] Kamal muchtar, Dkk, Usul Fiqh, PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta
[13] Drs. Chaerul Umam, dkk.,  Loc.Cit, hal.328
[14] Drs. Chaerul Umam, dkk., Op.Cit,  hal.329
[15] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta, 2011, hal.100-112

No comments:

Post a Comment