HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM 'ALAIH
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam mempunyai berbagai macam
aturan dan hukum. Hukum-hukumtersebut ditetapkan tuhan demi tercipta suatu
kehidupan yang berorientasi pada kebahagiaan umat, baik di dunia maupun
diakhirat.
Atas dasar
bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia
mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah
Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut
Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum
Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan
memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian
ayat-ayatnya.
Harus kita
ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selalu berhubungan dan
tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat
pada diri seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu
masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalah
tentang hukum syar’i.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan hakim?
2. Apakah
yang dimaksud dengan mahkum fih apa syarat-syaratnya?
3. Apakah
yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih dan apa syarat-syaratnya?
4. Bagaimanakah
korelasi antara hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui apakah yang dimaksud dengan hakim
2. Untuk
mengetahui apakah yang dimaksud dengan mahkum fih apa syarat-syaratnya?
3. Untuk
mengetahui apakah yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih dan apa syarat-syaratnya?
4. Untuk
mengetahui Bagaimanakah korelasi antara hakim,
mahkum fih dan mahkum ‘alaih.
BAB
I
PEMBAHASAN
A. Hakim
1. Pengertian
Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa
indonesia, yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam
bahasa arab, yaitu orang yang memutuskan dan menetapkan hukum, yang menetapkan
segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata hakim juga digunakan untuk menunjukkan
pengertian hakim di pengadilan. Untuk pengertian yang terakhir ini, dalam
bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata
qadhi (kadi). Dari segi terminologi fiqh, kata hakim atau qadhi juga menunjuk
pengertian hakim yang mengutus perkara di pengadilan.[1]
Yang dimaksud
dengan hakim di sini bukanlah pemegang kekuasaan (pemerintahan), tetapi Al
Hakim di sini ialah siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan manusia
(Al Af'aal) dan atas benda-benda (Al-Asy-yaa').
Hakim secara etimologi, mempunyai dua
pengertian :
وَاضِعُ الْاَحْكَام وَمُثَبَّتُهَا
وَمُنْثِئُهَا وَمَصَدِّرُهَا
“Pembuat,
yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum”.
الَّذِيْ يُدْرِكُ الْاَحْكَامِ
وَيَظْهَرُ هَا وَيُعَرِّفُهَا وَيَكْشِفُ عَنْهَا
“Yang
menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum”.[2]
Adapun
menurut terminologi usul fiqh, kata hakim
menunjuk pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki.
Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan menetapkan
hukum syariat bagi seluruh hamba-Nya (al-Hakim
Huwa Allah; al-hakim adalah Allah.
Para ulama
telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim ialah Allah SWT dan
tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah, karena hukum
menurut mereka ialah khitab (pernyataan) al syari’( Allah) yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf, baik itu tuntutan, pilihan ataupun hukum wadli
(sebab, syarat, dan mani’). Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan
firman Allah:
Artinya :
Katakanlah (Muhammad), Aku (berada) diatas keterangan yang nyata (al-Qur’an
) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk
menurunkan adzab) yangkamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan
(hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia
pemberi keputusan yang terbaik. (QS.Al-An’am: 57)
Dari sini jelas
pula, bahwa yang memiliki wewenang menetapkan dan membuat hukum ialah Allah
SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para Rasul-Nya.
Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.
Mereka ialah para rasul Allah serta para ulama’ sebagai pewaris beliau.[3]
Semua ulama
sepakat menytakan, hanya Allah yang berhak mencipta dan menetapkan perintah dan
larangan, dan sejalan dengan itu, hamba-hambanya wajib tunduk dan mematuhi
perintah dan larangn-Nya. Hamba Allah yang patuh akan diberi pahala dan surga,
sedangkan yang durhaka dikenai dosa dan siksa.
Dalam
konteks penetapan hukum, di lingkungan ulama usul fiqh dikenal dua istilah
yaitu Al-mutsbit li al-hukm (yang
menetapkan hukum) dan Al-muzhhiri li al-hukm (yang membuat hukum menjadi
nyata). Yang dimaksud dengan Al-mutsbit
li al-hukm ialah, yang berhak membuat danmenetapkan hukum. Yang berhak
membuat dan menetapkan hukum hanyalah Allah. Tidak siapapun yang berhak
menetapkan hukum kecuali Allah. Akan tetapi perlu ditegaskan kembali, selain
digunakan istilah al-Hakim untuk
menunjuk pengertian bahwa Allah pembuat hukum satu-satunya, dikenal pula
istilah asy-Syari’ (pembuat syari’at). Dalam ini, istilah al-Hakim dan asy-Syari’ selain
bermakna Allah pencipta dan pembuat hukum, harus pula ditambahkan Rasulullah,
bukan karena beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan syari’at, tetapi
karena beliau diberi tugas, antara lain, menjelaskan aturan-aturan hukum
syari’at yang juga bersumber dari wahyu Allah. Dalam konteks inilah dikenal dua
macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah, yaitu yang biasa disebut
dengan istilah wahyu matluw (wahyu
yang di bacakan/Al-qur’an) dan wahyu
ghair matluw (wahyu yang tidak di bacakan/al-Hadits/ as-Sunnah).
Pada
hakikatnya, tidak ada satu pun perbuatan manusia (baik dalam bentuk aktif
maupun pasif; gerak dan diam manusia) yang tidak ada hukumnya, karena segala
sesuatu telah ditetapkan hukumnya oleh Allah melalui Al-qur’an dan hadis
rasul-Nya. Hanya saja, hukum yang telah ditetapkan Allah itu, ada yang jelas
dan nyata hukumnya, dan ada pula yang masih tersembunyi dan samar bagi manusia.
Untuk menentukan hukum yang tersembunyi itu, dipeerlukan upaya ijtihad dengan cara menggalinya (istinbath al-ahkam) melalui alat-alat ijtihad, seperti: ijma’, qiyas dan lain-lain,
dari sumbernya yang telah tersedia yaitu Al-qur’an dan hadis, sehingga hukum
Allah yang tersembunyi itu menjadi diketahui dan nyata bagi manusia. Mujtahid yang ber-ijtihad berperan menggali dan menemukan hukum Islam yang
tersembunyi itulah yang disebut dengan al-muzhhir
li al-hukum. Karena itu, mujtahid
hanya berperan membuat nyata dan terang hukum-hukum Allah yang masih
tersembunyi, bukan menciptakan dan menetapkan hukum secara tersendiri.
2. Kriteria Baik Dan Buruk Suatu Perbuatan Sebelum Diutusnya
Rasulullah SAW
Ketika rasul sudah diutus dan seruannya telah sampai kepada manusia, maka disini
tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan
mereka ialah Allah SWT. Yang menjadi perselisihan ialah tentang siapakah yang
menjadi al-hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasul diutus. Dengan kata
lain sebelum rasul diutus, bagaimana kriteria baik buruknya suatu perbuatan.
a. Pandangan kelompok mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah
berpendapat bahwa sebelum diutus, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena
akal manusia dapat mengetahui baik buruknya suatu perbuatan, baik berdasar pada
hakikat atau sifat perbuatan itu. Dasar mazhab ini, bahwa baik dari perbuatan
itu bila mengandung keuntungan, perbuatan jelek karena mengandung madharat.[4]
Manusia dengan kemampuan akalnya dapat mengetahui
perbuatan baik dan buruk. Sebagian perbuatan baik, dan buruk itu dapat
diketahui dengan mudah tampa harus memikirkannya terlebih dahulu, seperti:
berkata benar adalah baik sedangankan berdusta adalah buruk. Kemudian, sebagian
baik dan buruk baru dapat diketahui setelah memikirkannya secara mendalam,
seperti: berkata benar adalah baik meskipun menimbulkan bahaya, dan berkata
dusta adalah buruk, meskipun membawa manfaat. Pada kedua bentuk perbuatan baik
dan buruk yang dapat diketahui manusia melalui akalnya ini, wahyu yang dibawa
oleh para rasul Allah hanya berperan sebagai konfirmasi atas baik dan buruk
yang diketahui manusia dengan akalnya itu.
Sementara ada sebagian kecil perbuatan baik dan buruk
yang tidak dapat diketahui akal manusia kecuali diberi tahu oleh Allah melalui
wahyu, seperti: perbuatan salat, puasa dan haji dengan tata cara sebagaimana
yang diajarkan syariat. Pada bentuk perbuatan ini, wahyu berperan memberi
informasi tentang baik dan buruk.
Terhadap perbuatanbaik dan buruk yang dapat diketahui
manusia dengan akalnya, manusia diperintahkan Allah untuk melakukan perbuatan
baik, dan akan diberikan pahala karena berbuat baik. Serta dilarang berbuat
buruk dan akan dikenai dosa karena berbuat buruk. Meskipun Allah belum
menurunkan bimbingan wahyu malalui pengutusan Rasul-Nya. Sementara untuk
perbuatan yang tidak mungkin diketahui manusia kecuali melalui wahyu, manusia
tidak dibebani kewajiban untuk menjalankannya, sebelum datangnya wahyu dan
pengutusan rasul.
b. Pandangan Kelompok Maturidiyah
Kelompok
maturidiyah sependapat dengan kelompok Mu’tazilah yang mengatakan, manusia
dengan akalnya, dapat mengetahui sebagian besar perbuatan baik dan buruk. Akan
tetapi mereka menolak pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa manusia
diperintahkan untuk berbuat baik, yang karenanya diberi pahala, dan dilarang
berbuat buruk yang karenanya dikenai dosa, sebelum turunnya wahyu melalui
pengutusan rasul.
Argumen yang
di kemukakan Maturidiyah adalah firman Allah pada surah Al-Isra’ (17): 15:
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah
(Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri.
Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak
akan mengenakan ‘azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
c. Pandanga Kelompok Asy’ariyyah
Golongan Asy’ariyyah berpendapat, akal manusia tidak
dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk, karena baik dan buruk bukan pada
esensi perbuatan, melainkan karena diberi sifat baik atauburuk oleh Allah
melalui wahyu. Oleh karena itu, manusia tidak berkewajiban melakukan perbuatan
baik dan menjauhi perbuatan buruk sebelum datangnya wahyu yang dibawa rasul
Allah. Dengan kata lain, sebelum datangnya wahyu, manusia tidak dikenai beban taklif. Argumen yang dikemukakan
Asy’ariyyah untuk mendukung pendapat mereka adalah ayat surah al-isra’ yang
telah di sebut di atas.
Perlu ditegaskan lagi, perbedan pendapat di atas
berkenaan dengan perbuatan manusia sebelum turunnya wahyu. Perbedaan pendapat
tersebut menjadi tidak relevan setelah turunnya wahyu, karena ketiga kelompok
tersebut sependapat, setelah datangnya Rasulullah memnawa wahyu, maka yang
menjadi standar baik dan buruk adalah wahyu.[5]
B. Objek Hukum (Mahkum
Fih)
1. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \
مَحْكُوم فِيْه ِ)
المَحْكُومُ
فِيْهِ : هُوَ الفِعْلُ الُمكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ الله
“Mahkum
fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah
(hukum syara’) dan rasulnya yang bersifat tuntutan mengerjakan , tuntutan
meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat
sebab, halangan, azimah, rukshah, sah dan bathal”.[6]
Mahkum fiihi
juga diartikan perbuatan orang mukhallaf sebagai tempat menghubungkan hukum
syara’. Misalnya firman Allah:
يآاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْ ابَالْعُقُوْجِ
Artinya : "hai
orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji."
Dalam firman
Allah tersebut yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan orang mukhallaf
yaitu perbuatan menyempurnakan janji. Sebab menyempurnakan janji bertalian
dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
Para ahli
Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu: 1. Yang
berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang
berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang
berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang
berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang
berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
Contoh
firman Allah SWT:
نَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُو
“ Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS al-Baqoroh/2 :
183).
Firman Allah
SWT di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yaitu berpuasa, status
hukumnya adalah wajib.
2. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat
mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut:
a.
Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh
orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
Misalnya, firman Allah SWT :
اَقِيْمُوْا
الصَّلوةَ
Artinya : "Dirikanlah
shalat"
Dalam nash Al-Qur'an belum dijelaskan
rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan cara-cara menunaikannya. Sebab nash Al-Qur'an
itu sifatnya masih global. Maka Rasulullah menjelaskan nash Al-Qur'an tersebut
:
صَلُّوْا كَمَارَأَيْتُمُوْنِى
اُصَلِّى
Artinya : "Shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihat aku sedang menunauikan shalat".
Jadi tidak sah menggunakan khitob
yang global sebab hal tersebut tidak diketahui maksudnya. Kecuali setelah ada
penjelasan mengenai hal itu.[7]
b.
Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang
mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya
ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.
c.
Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin
terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena
tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana.
Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
Dari syarat ini bercabanglah 2 (dua)
hal :
1)
Menurut syara' tidak sah membebani hal yang mustahil
(yang tidak mungkin bisa dilakukan). Misalnya : mengumpulkan dua hal yang
berlawanan. Contoh : tidur dan bangun di waktu yang sama.
Pendapat ulama ushuliyah :
الشخص الواحد فى الوقت الواحد بالشئ الواحد لايئ مر ولا
ينهى
"Satu
orang dalam satu waktu dengan satu hal tidak bisa diperintah dan tidak bisa
dilarang".[8]
2) Menurut
syara' tidak sah membebani mukallaf agar selain dia mengerjakan perbuatan atau
mencegahnya. Contoh :
لاَتَمُوتُنَّ
اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Artinya : "Maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam" (Q.S.
Al-Baqarah : 132).
Lahirnya
adalah membebani mereka sekarang agar mereka itu ketika mati dalam keadaan
Islam.[9]
d.
Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan
lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.
C. Subjek Hukum (Mahkum ‘Alaih)
1. Pengertian
Para ulama usul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan mahkum alaih
( اَلْمَحْكُمْ عَلَيْهِ ) adalah seseorang yang dikenai khitab allah
ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf (اَلْمُكَلَّفُ ).
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani
hukum. Dalam usul fiqih,istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (dalam
subjek). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum,
baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Apabila
ia mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya
belum terpenuhi.[10]
2. Syrat-Syarat
Mukallaf
Mengenai
sahnya memberi beban kepada mukallaf, dalam syara disyaratkan dua syarat:
a.
Mukallaf dapat memahami dalil taklif, seperti jika dia
mampu memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al-Quran dan
as-Sunnah dengan langsung atau dengan perantara. Karena orang yang tidak mampu
memahami taklif, dia tidak dapat mengikuti yang dibebankan kepadanya, dan
tujuannya tidak mengarah kesana. Sedangkan kemampuan memahami dalil itu hanya
nyata dalam akal, dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan kepada
orang-orang yang punya akal itu dapat diterima pemahamanya oleh akal mereka.
Karena akal itu ialah alat untuk memahami dan menjangkau.[11]
Adapun orang-orang tidak mengerti bahasa Arab dan
tidak dapat memahami dalil-dalil tuntutan syara dari al-Quran dan
as-Sunnah,maka jalan keluarnya untuk menagtasinya ditempuh melalui beberapa
jalan, yaitu:
a)
Menerjemahkan Al-Qur’an dan As Sunnah ke dalam
beberapa bahasa, atau ke dalam bahasa mereka.
b)
Menyeru orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk
mempelajari bahasa arab agar dapat kita sampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah.
Wajib kita mengadakan segolongan dari umat kita untuk
mempelajari bahasa asing dengan sempurna, guna menyampaikan Al-Qur’an dan As
Sunnah kepada orang asing itu. Dalil kewajiban itu berdasarkan :
اَن يَبْلُغَ
الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الغَائِبِ
Artinya :”Hendaklah
orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir diantara kamu.[12]
b.
Mukallaf ialah orang yang ahli sesuatu yang dibebankan
kepadanya.
D. Ahliyah
1. Pengertian Ahliyah
Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan
menangani suatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu
bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut. Adapun secara
terminologi menurut para ahli ushul fiqh ahliyah adalah suatu sifat yang
dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan seseorang
telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah
adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan
akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.
2. Pembagian Ahliyah
Menurut para ulama’ ushul fiqh, ahliyah (kepantasan)
itu ada dua macam yaitu:
a)
Ahli Wajib (Ahliyyatul Wujub)
1)
Pengertian
اَهْلِيَّةُ الوُجُوْبِialah kepantasan seseorang
mempunyai hak dan kewajiban.
ü Yang
dimaksud dengan hak ialah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain.
ü Kewajiban ialah sesuatu yang harus
diberikan kepada orang lain.
Jadi ahliyyatul wujub itu ialah kelayakan seseorang
untuk ada padanya dalam keputusan
seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada
orang lain. [13]
2)
tingkatan ahliyyah al-wujub
ü Ahliyah al-wujub
al-qashirah(kecakapan melaksanakan kewajiban secara tidak sempurna)
Maksudnya, kecakapan seseorang yang tidak sempurna
untuk melaksanakan semua kewajiban dan menerima semua hak, sebagaimana yang
dapat diberikan kepada mukallaf yang sempurna. Contohnya, janin dalam
kandungan. Janin dipandang cakap menerima hak tertentu, seperti warisan dan
wasiat. Hak tersebut menjadi haknya yang nyata, apabila janin dilahirkan dalam
keadaan hidup. Akan tetapi, janin tidak dibebani kewajiban apapun, karena ia
tidak cakap memikul kewajiban. Sebaliknya, contoh yang hanya dikenai kewajiban
tertentu tetapi tidak diberi hak apapun ialah, orang yang telah wafat. Orang
yang telah wafat di pandang tidak cakap untuk menerima hak karena kewafatannya,
tetapi ia dikenakan kewajiban membayar utang semasa hidupnya. Tentu saja
kewajiban pembayaran hutang tersebut hanya diambilkan dari harta warisan yang
ditinggalkannya. Adapun hak dan kewajiban lainnya, terutama kewajiban kepada
Allah.
ü Ahliyyah
al-wujub al-kamilah (kecakapan melaksanakan kewajiban secara sempurna)
Adapun yang dimaksud dengan ahliyyah al-wujub
al-kamilah ialah, seseorang yang secara potensial dipandang sempurna memiliki
kecakapan untuk dikenai kewajiban sekaligus diberi hak. Contohnya ialah bayi.
Bayi dipandang cakap menerima hak menerima harta warisan dan pewarisannya,
sekaligus dipandang cakap dikenai kewajiban tertentu, seperti: kewajiban zakat
fitrah, da kewajiban zakat atas hartanya menurut sebagian para ulama.
b)
Ahli Melaksanakan (Ahliyyatul Ada’)
1)
pengertian
اَهْلِيَّةُ
اْلاَدَاءِ ialah
kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh
syara’. Sekira apabila keluar dari padanya akad (contract) tasharruf
(pengelolaan ), maka menurut syara akad
atau tasharruf itu bisa diperhitungkan adanya, dan terjadi tertib hukum
atasnya. Apabila mukallaf mendirikan shalat, atau puasa atau mengerjakan
kewajiban apa saja, maka semua itu menurut syara’ bisa diperhitungkan, dan bisa
menggugurkan kewajiban mukallaf. Dan apabila mukallaf membuat pidana atas orang
lain dalm soal jiwa, harta, kehormatan, maka dia dihukum sesuai dengan
pidananya itu dengan bentuk fisik dan harta. [14]
2)
pembagian ahliyyah al-ada’
ü ‘adim
al-ahliyyah (tidak memiliki kecakapan)
Adapun yang dimaksud dengan ‘adim al-ahliyyah yaitu: yang
sama sekali tidak memiliki kecakapan bertindak secara hukum. Mereka ini adalah
yang berusia antara nol sampai tujuh tahun. Pada usia ini seseorang dipandang
sama sekali belum memiliki akal yang dapat mempertimbangkan perbuatannya.
Meskipun pada usia ini ia belum disebut mukallaf, namun sebagian ulama
berpendapat, harta yang dimilikinya (mungkin bersumber dari harta warisan,
hibah, dan lain-lain), dikenakan kewajiban zakat.
ü Ahliyyah
al-ada’ al-qashirah (kecakapan bertindak tidak sempurna)
Adapun yang dimaksud dengan Ahliyyah al-ada’
al-qashirah ialah, yang memiliki akal yang belum sempurna, yaitu berusia antara
tujuh tahun sampai sebelum berusia dewasa, sebagian tindakannya dikenai hukum
dan sebagian lagi tidak dikenai hukum.
ü Ahliyyah
al-ada’ al-kamilah (kecakapan bertindak secara sempurna)
Adapun yang dimaksud dengan Ahliyyah al-ada’
al-kamilah,yaitu, seseorang yang telah memiliki akal yang sempurna, yaitu yang
telah mencapai usia dewasa sehingga, dipandang telah mukallaf, sebagaimana yang
telah dikemukakan sebelumnya.
3. Halangan Ahliyah
Faktor-Faktor
Penghalang Kecakapan Bertindak Secara Hukum (‘Awaridh Al-Ahliyyah)
a)
Al-awaridh as-samawiyyah
Adapun yang dimaksud dengan Al-awaridh as-samawiyyah
ialah, halangan kecakapan bertindak secara hukum yang timbul dari luar diri
seseorang yang bukan merupakan akibat dari kehendak dan perbuatannya. Halangan
ini terdiri atas beberapa macam sebagai berikut:
1)
Usia anak-anak
2)
Gila (al-junun), baik yang berwaktulama dan
berkelanjutan maupun gila yang bersipat sementara dan tidak berkelanjutan
3)
Lemah akal (al-‘atah)
4)
Tidur (an-naum) dan pingsan (al-ighma’)
5)
Lupa(an-nisyan)
6)
Sakit (al-maradh)
7)
Haid dan nifas
8)
Mati (al-maut)
9)
Bodoh (as-safah)
b)
Al-awaridh al-muktasabah
Yang dimaksud dengan Al-awaridh al-muktasabah yaitu,
halangan kecakapan bertindak secara hukum yang timbul dari dalam diri
seseorang, baik akibat perbuatannya,ataupun karena adanya kehendak dalam
dirinya yang membuatnya terhalang. Halang dalam bentuk ini ada beberapa macam
sebagai berikut:
1)
Mabuk (as-sakr)
2)
Ketidaktauan (al-jahl)
3)
Tesalah (al-khatha’)
4)
Terpaksa (al-ikrah)
5)
Berpergian (as-safar).[15]
D. Korelasi
Antara Hakim, Mahkum Fih Dan Mahkum ‘Alaih
1. Korelasi antara hakim dengan mahkum fih
Hubungan antara hakim dengan mahkum fih ialah bahwa
hakim ialah sang pembuat hukum sedangkan mahkum fih ialah objek yang terkena
suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya mahkum fih
maka hakim tidak akan nyata, dan apabila mahkum fih secara substansi perbuatan
dan sandaran berkaitan dengan hokum syar’i maka yang menghukumi ialah hakim.
2. Korelasi antara hakim dengan mahkum ‘alaih
Hubungan
antara hakim dengan mahkum alaih ialah bahwa hakim ialah sang pembuat hukum
sedangkan mahkum alaih ialah subjek yang terkena suatu tuntutan hukum dari
hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya hakim maka mahkum alaih tidak akan
nyata, dan apabila orang mahkum alaih melakukan suatu pelanggaran baik berkaitan
dengan Allah (hakim) langsung atau berkaitan dengan sesama mahkum alaih maka
yang menghukumi ialah hakim.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Hakim menurut etimologi ialah pembuat, yang
menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum, yang menemukan, menjelaskan,
memperkenalkan, dan menyingkap hukum. Adapun menurut
terminologi usul fiqh, kata hakim
menunjuk pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki.
Al-Hakim yang muthlaq hanyalah Allah SWT. Namun,
dengan adanya manusia maka untuk menegakkan hukum-Nya, Allah mengutus Rasul
untuk menyampaikan risalah tersebut. Kemudian setelah Nabi tiada, tugas itu
menjadi tugas para mujtahid, ulama’, serta umat muslim itu sendiri untuk
menegakkan hukum Allah SWT.
Mahkum fih adalah objek hukum yaitu perbuatan mukallaf
yang berhubungan dengan hukum syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan,
meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat
syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, serta halangan.
Mahkum ‘alaih (subjek hukum) dalam kajian ushul fiqh
adalah mukallaf, yaitu orang yang kepadanya khitbah
Allah diarahkan. Mukallaf adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk bertindak
secara hukum, sehingga ia pantas untuk menerima titah melakukan perbuatan, atau
meninggalkan perbuatan, atau memelihara antara melakukan atau meninggalkan
suatu perbuatan.
B.
Saran
Sebagai
seorang mahasiswa hendaklah kita lebih mempelajari ilmu ushul fiqh, agar kita
tidak keliru dalam menetapkan suatu hukum. Dan kita bisa membedakan yang wajib,
sunnah, makruh dan haram. Selain itu, hendaklah kita mengamalkan ilmu ushul
fiqh dalam kehidupan sehari-hari agar kita sebagai mukallaf bisa melakukan
tugas dan kewajiban kita dengan baik. Sehingga kita selalu berada dijalan yang
benar dan setiap tindakan yang kita lakukan sesuai dengan ajaran al-qur’an dan
hadis.
[1]
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul
Fiqh, Amzah, Jakarta, 2011, Hal. 87
[2] Drs. Totok Jumantoro, M.A,dkk.,Kamus
Ilmu Ushul Fiqih, Amzah, T.t, 2005
[3]
Drs. Muin Umar,dkk., Ushul Fiqh 1, Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, 1985, hal. 26
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah
Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet ke.6, 1996, hal. 150
[5] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta, 2011, hal.
88-91
[6] Drs. Chaerul Umam, dkk.,Ushul
Fiqih I, CV. Pusaka Setia, Bandung, 2000, hal. 329
[7] Drs. Totok Jumantoro, M.A,dkk.,
Op.cit., hal. 186
[8] Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit.,
hal.201
[9] Karim Syafi'i, Fiqih Ushul
Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hal. 138.
[10] Drs. Chaerul Umam, dkk., Op.Cit.,
hal. 327
[11] Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit.,
[12] Kamal muchtar, Dkk, Usul Fiqh,
PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta
[13] Drs. Chaerul Umam, dkk.,
Loc.Cit, hal.328
[14] Drs. Chaerul Umam, dkk., Op.Cit,
hal.329
[15] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta, 2011, hal.100-112
No comments:
Post a Comment