Sunday, 8 January 2017

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

TEORI BELAJAR HUMANISTIK

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Memasuki abad ke-19 beberapa ahli psikologi mengadakan penelitian eksperimental tentang teori belajar, walaupun pada waktu itu para ahli menggunakan binatang sebagai objek penelitiannya. Penggunaan binatang sebagai objek penelitian didasarkan dari pemikiran bahwa apabila binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat melakukan eksperimen teori belajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa eksperimen itupun dapat berlaku bahkan dapat lebih berhasil pada manusia, karena manusia lebih cerdas dari pada binatang.
Diantara ahli psikologi yang menggunakan binatang sebagai objek penelitiannya adalah Thorndike (1874-1949), terkenal dengan teori belajar Classical Conditioning, menggunakan anjing sebagai binatang uji coba, Skinner (1904) yang terkenal dengan teori belajar Operant Conditioning, menggunakan tikus dan burung sebagai binatang uji coba.[1]
Dari berbagai tulisan yang membahas tentang pertimbangan teori belajar seperti memaparkan tentang teori belajar yang secara umum dapat dikelompokkan dalam empat kelompok atau aliran meliputi: (a) teori belajar behavioristik, (b) teori belajar kognitif, (c) teori belajar humanistik, dan (d) teori belajar siberniatik. Keempat aliran teori belajar tersebut meiliki karakteristik yang berbeda, yakni aliran behavioristik menekankan pada “hasil” dari pada proses belajar. Aliran kognitif menekankan pada “proses” belajar. Aliran humanistik menekankan pada isi “atau apa yang dipelajari”. Aliran sibernetik menekankan pada “sistem informasi” yang dipelajari.
Teori belajar humanistik merupakan teori belajar yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapist) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Teori ini menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapist hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, dalam Sudrajat bahwa teknik-teknik assessment dan pendapat para terapist bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien.[2]
Teori jenis ketiga adalah teori humanistik. Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari keempat teori belajar, teori humanistiklah yang paling abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan. Hal ini membuat teori humanistik sangat penting dan menarik untuk dibahas. Sehingga melalui makalah ini kami ingin mencoba menjelaskan lebih lanjut tentang teori humanistik.

B.     Rumuran Masalah
1.      Apakah teori belajar humanistik itu?
2.      Siapakah tokoh-tokoh dalam teori belajar humanistik?
3.      Dimana kelebihan dan kekurangan teori belajar humanisme?
4.      Bagaimana aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran?
5.      Apa saja Model pembelajaran humanisme?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui apakah teori belajar humanistik itu.
2.      Untuk mengetahui  siapakah tokoh-tokoh dalam teori belajar humanistik.
3.      Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan teori belajar humanisme.
4.      Untuk mengetahui bagaimana aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran.
5.      Untuk mengetahui apa saja Model pembelajaran humanisme.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Teori Humanistik
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya “isi “ dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
 Selanjutnya Gagne dan Briggs mengatakan bahwa pendekatan humanistik adalah pengembangan nilai-nilai dan sikap pribadi yang dikehendaki secara sosial dan pemerolehan pengetahuan yang luas tentang sejarah, sastra, dan pengolahan strategi berpikir produktif Pendekatan sistem bisa dapat di lakukan sehingga para peserta didik dapat memilih suatu rencana pelajaran agar mereka dapat mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan belajar atau sejumlah pelajaran yang akan dipelajari atau jenis-jenis pemecahan masalah dan aktifitas-aktifitas kreatif yang mungkin dilakukan.pembatasan praktis dalam pemilihan hal-hal itu mungkin di tentukan oleh keterbatasan bahan-bahan pelajaran dan keadaan tetapi dalam pendekatan sistem itu sendiri tidak ada yang membatasi keanekaragaman pendidikan ini.[3]
Jadi, teori belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.

B.     Tokoh-Tokoh Teori Belajar Humanisme
Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang di usulkan oleh Ausubel (1968) yang disebut “belajar bermakna” atau Meaningful Learning. (sebagai catatan, teori Ausubel ini juga dimasukkan ke dalam aliran kognitif). Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan krathwohl dalam bentuk Taksonomi Bloom. Selain itu, empat pakar lain yang juga termanus ke dalam kubu teori ini adalah Kolb, Honey dan Mumford, serta Habermas, yang masing-masing pendapatnya akan dibahas berikut ini.
1.      Bloom dan Krathwohl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercangkup dalam tiga kawasan berikut.
a.       Kognitif
Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu:
1)      Pengetahuan (mengingat, menghafal);
2)      Pemahaman ( menginterpretasikan);
3)      Aplikasi ( menggunakan konsep untuk memecahkan suatu permasalahan);
4)      Analisis (menjabarkan suatu kosep);
5)      Sintesisi (menggabungkan bagian konsep-konsep menjadi suatu konsep utuh);
6)      Evaluasi ( membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya).
b.      Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1)      Peniruan (menirukan gerak);
2)      Penggunaan ( menggunakan konsep untuk melakukan gerak);
3)      Ketepatan (melakukan gerak dengan benar);
4)      Perangkaian ( melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar);
5)      Naturalisasi ( melakukan gerak secara wajar).
c.       Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1)      Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu);
2)      Merespons (aktif berpartisipasi);
3)      Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu);
4)      Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercaya);
5)      Pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup.
Taksonomi Bloom ini, seperti yang telah kita ketahui berhasil memberi inspirasi kepada banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini lebih banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional, serta dapat diukur. Dari beberapa taksonomi belajar, mungkin Taksonomi Bloom inilah yang paling populer (setidaknya di Indonesia)
Selain itu, teori Bloom ini juga banyak dijadikan pedoman untuk membuat butir-butir soal ujian, bahkan bagi orang-orang yang sering mengkritiktaksonomi tersebut. kritikan atas klasifikasi kemampuan yang dikemukakan Bloom ternyata diperbaiki oleh pakar pendidikan dengan mengadakan revisi pada aspek kognitif. Dalam klasifikasi taksonominya pada aspek kognitif, Bloom mengemukakan enam tingkatan kemampuan yang meliputi (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) penerapan, (4) analisis,(5) sintesis, dan (6) evaluasi. Melalui pakar pendidikan yang terdiri dari Peter W. Airasian, Katheleen A. Cruikshank, Richard E. Myer, Paur E. Pitrich, James Raths, dan Merlin C. Wittrock dengan editor Orin w. Anderson dan Davit R. Krathwohl dalam buku yang berjudul A Taksonomi For Learning, Teaching and Assessing   yang diterbitkan pada tahun 2001 mengadakan revisi aspek kemampuan kognitif tersebut dengan memilah dua dimensi, yakni (1) dimensi pengetahuan, dan (2) dimensi proses kognitif.
Dalam dimensi pengetahuan didalamnya memuat objek ilmu yang disusun dari (1) pengetahuan fakta, (2) pengetahuan konsep, (3) pengetahuan prosedural, dan (4) pengetahuan metakognitif. Sedang dalam dimensi proses kognitif didalmnya memuat enam tingkatan yang meliputi (1) mengikat, (2) mengerti, (3) menerapkan, (4) menganalisis, (5) mengevaluasi, dan (6) mencipta.
2.      Kolb
Sementara itu, seorang ahli lain yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu
a.       Pengalaman konkrit
b.      Pengamatan aktif dan reflektif
c.       Konseptualisasi
d.      Eksperimentasi aktif.
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakekat kejadian tersebut. diapun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar.
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflektif.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang sesuatu yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapka sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai ontoh kajian yang meskipun tampak berbeda-beda, mempunyai landasan aturan yang sama.
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum kesituasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami “ asal usul” sebuah rumus, tetapi ia juga ia mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temuai sebelumnya.
Menurut Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung diluar kesadaran siswa. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya itu sering kali terjadi begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya.
3.      Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka ada empat macam atau tipe siswa, yakni (1) aktifis, (2) reflektor, (3) teoris, dan (4) pragmatis.
Ciri dari siswa yang betipe aktifis adalah mereka yang suka melibatka diri pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka cendrung berfikiran terbuka dan mudah diajak berdialog. Namun, siswa semacam ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu. Ini kadang kala identik dengan sifat mudah percaya. Dalam proses belajar, mereka mempunyai metode yang mampu mendorong seeorang menemukan hal-hal baru seperti, broinstorming atau problem solving. Akan tetapi, mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi.
Untuk siswa yang bersifat reflektor, sebaliknya, cendrung sangat berhati-hati dalam mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cendrung “ konserfatif”, dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruk suatu keputusan. Sedangkan siswa yang bertipe teoris biasanya sangat kritis, senang menganalisis, tidak mempunyi pendapat atau penilaian subjektif. Bagi mereka, berfikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting. Mereka biasanya juga sangat skeptis dan tidak mempunyai hal-hal yang bersifat spekulatif. Untuk siswa tipe pragmatis biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Teori memang penting kata mereka. Namun, apabila teori tidak bisa dipraktikkan, untuk apa? Kebanyakan siswa dengan tipe ini tidak suka berlarut-larut dalam membahas aspek teoritis filosofis dari sesuatu. Bagi mereka, sesuatu dikatan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktikkan
4.      Habermas
Ahli psikologi lain adalah habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh intraksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu
a.       Belajar teknis (tecnical Learning)
b.      Belajar praktis (practical learning)
c.       Belajar emansipatoris (emancipatory learning)
Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana berintarksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara memplajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berintaraksi, tetapi pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah intraksi antara dia dengan orang-orang disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman terhadap alam itu justru relevan jika dan hanya jika berkaitan dengan kepentingan manusia.
Sedangkan dalam belajar emansifatoris, siswa berusa mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habernas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling
tinggi, sebab transformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan penddikan yang paling tinggi.[4]

C.     Kelebihan Dan Kekurangan Teori Belajar Humanisme
1.      Kelebihan Teori Belajar Humanisme
a.       Pembelajaran dengan teori ini sangat cocok diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
b.      Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
c.       Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku.[5]
2.      Kelemahan teori belajar humanistik
Karena dalam teori ini guru ialah sebagai fasilitator maka kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif. Karena bagi siswa yang kurang aktif, dia akan takut atau malu untuk bertanya pada gurunya sehingga dia akan tertinggal oleh teman-temannya yang aktif dalam kegiatan pembelajaran, padahal dalam teori ini guru akan memberikan respons bila murid yang diajar juga aktif dalam menanggapi respons yang diberikan oleh guru. Karena siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri, peran guru dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang.

D.    Aplikasi Teori Belajar Humanistik Dalam Pembelajaran
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada roh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik ialah menjadi fasilitator bagi para siswa dengan memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman belajar siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.[6]
Pandangan kalangan humanis tentang proses belajar mengaplikasikan perlunya penataan peran guru/ tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan. Menurut pandangan ini guru/ tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar belaka. Guru sebaiknya bukan lagi sebagai proses pembelajaran tetapi yang terpenting ialah  memfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar secara instrinsik pada diri peserta didik. Peserta didik harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan kesadaran sidentitas dirinya.[7]
Guru berperan sebagai fasilitator bukan berarti bahwa ia harus berfikir pasif akan tetapi justru guru harus  berperan aktif dalam suatu proses pembelajaran. Belajar bermakna terjadi jika sesuai dengan kebutuhan peserta didik, disertai motivasi intrinsik dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta didik mempelajari segalanya tentang bidang studi tersebut. Guru harus aktif dan paham betul atas keunikan peserta didik. Adapun proses yang umumnya dilalui sebagai berikut.
1.      Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
2.      Mengusahakan partisipasi siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur, dan positif.
3.      Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
4.      Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
5.      Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari pelaku yang ditunjukan.
6.      Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko  perbuatan atau proses belajarnya.
7.      Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya.
8.      Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi belajar siswa. [8]

E.      Model Pembelajaran Humanisme
1.      Humaning Of The Classroom, ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga menyebabkan peserta didik putus asa yang akhirnya mengakhiri hidupnya. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humaning Of The Classroom ini dicetuskan oleh Jhon P. Miller yang terfokus pada pengembangan model pendidikan afektif. Pendidikan model ini tertumpu pada tiga hal, yaitu: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan terbatas pada subtansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
2.      Active Learning dicetuskan oleh Melvin L. Siberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini ialah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Dalam Active Learning cara belajar dengan mendengarkan saja akan sedikit ingat, dengan cara mendengarkan, melihat dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, berdiskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus ialah dengan membelajarkan.
3.      Quantum Learning merupakan cara pengubahan macam-macam interaksi. Hubungan dan inspirasi yang di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, Quantum Learning menggabungkan sugetologi teknik pemercepatan belajar dan neurolenguistik dengan teori keyakinan dan  metode tertentu. Quantum Learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa diduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini ialah belajar itu harus mengasikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
4.       The Accelerated Learning, merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini berlangsung sangat cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini Dave Meiver menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan somantic, auditory, visual  dan intellectual (SAVI). Somantic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalah learning bay talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya ialah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi). Bobbi De Porter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berfikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan  pengalaman belajar efektif .[9]


BAB II
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Teori belajar humanistik yaitu belajar untuk memanusiakan manusia.Manusia sebagai aktor dalam drama kehidupan, bukan reaktor terhadap instink atau tekanan lingkungan. Manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi lebih baik dan juga belajar.
2.      Tokoh-tokoh dalam teori belajar humanistik yaitu Kolb, Honey dan Mumford, serta Habermas.
3.      Kelebihan dan kekurangan teori belajar humanisme.
a.        Kelebihan
Sangat cocok untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial ; siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. ; dan siswa menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku.
b.      Kekurangan
Kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif; siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri ; peran guru dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang.
4.      Aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran pada umumnya sebagai berikut:
a.       Merumuskan tujuan belajar yang jelas
b.      Mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
c.       Mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupan peserta didik untuk belajar atas inisiatif sendiri
d.      Mendorong peserta didik untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
e.       Peserta didik di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
f.       Guru menerima peserta didik apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran peserta didik, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong peserta didik untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
g.      Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
h.      Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi peserta didik.
  1. Model pembelajaran humanisme : Humaning of The Classroom, Active Learning, Quantum Learning, dan The Accelerated Learning.

B.     Saran
Sebagai seorang mahasiswa yang tidak pernah terlepas dari dunia pendidikan terlebih bagi mahasiswa calon guru yang akan mengajar, tentunya  kita harus mengetahui berbagai macam teori dalam belajar. karena dengan mengetahui teori belajar kita dapat memberikan pelayanan kepada siwa atau pelajar sesuai dengan teori yang ada. Sehingga apa yang kita sampaikan dapat diterima dan dipahami dengan mudah oleh semua siswa yang kita ajar. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mempelajari berbagai macam teori belajar, agar kita bisa menguasai dan mengimplementasikannya dalam proses belajar mengajar.


[1] Winkel,W.S., Psikologi Pengajaran, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1996), Hlm. 550.
[2] Sudrajat, Ahkmad. Media Pembelajaran. Artikel. Diakses Di Http://Ahkmadsudrajat. Wordpress. Com /Bahan-Ajar/Media-Pembelajaran/, Tanggal 29 Maret 2016.
[3] Uno, Hamzah B., Orientasi Baru Dalam Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Bumi Aksara,  2006), Hlm 13.
[4] Uno, Hamzah B., Orientasi Baru Dalam Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Bumi Aksara,  2006), Hlm 13-17
[5] Herpratiwi, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bandar lampung : Universitas Lampung, 2009) Hlm. 56
[6] Sumanto, Wasty., Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), Hlm.235
[7] Herpratiwi, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bandar lampung : Universitas Lampung, 2009) Hlm. 61
[8] Mulyati,  Psikologi Belajar,  (Yogyakarta: CV. Andi Offset,  2005), Hlm. 182
[9]Wardani, muhamma. Artikel. Diakses di

No comments:

Post a Comment