TEORI BELAJAR HUMANISTIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Memasuki
abad ke-19 beberapa ahli psikologi mengadakan penelitian eksperimental tentang
teori belajar, walaupun pada waktu itu para ahli menggunakan binatang sebagai
objek penelitiannya. Penggunaan binatang sebagai objek penelitian didasarkan
dari pemikiran bahwa apabila binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat
melakukan eksperimen teori belajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa
eksperimen itupun dapat berlaku bahkan dapat lebih berhasil pada manusia,
karena manusia lebih cerdas dari pada binatang.
Diantara
ahli psikologi yang menggunakan binatang sebagai objek penelitiannya adalah
Thorndike (1874-1949), terkenal dengan teori belajar Classical Conditioning,
menggunakan anjing sebagai binatang uji coba, Skinner (1904) yang terkenal
dengan teori belajar Operant Conditioning, menggunakan tikus dan burung sebagai
binatang uji coba.[1]
Dari
berbagai tulisan yang membahas tentang pertimbangan teori belajar seperti
memaparkan tentang teori belajar yang secara umum dapat dikelompokkan dalam
empat kelompok atau aliran meliputi: (a) teori belajar behavioristik, (b)
teori belajar kognitif, (c) teori belajar humanistik, dan (d) teori belajar
siberniatik. Keempat aliran teori belajar tersebut meiliki karakteristik yang
berbeda, yakni aliran behavioristik menekankan pada “hasil” dari pada proses
belajar. Aliran kognitif menekankan pada “proses” belajar. Aliran humanistik
menekankan pada isi “atau apa yang dipelajari”. Aliran sibernetik menekankan
pada “sistem informasi” yang dipelajari.
Teori belajar humanistik merupakan
teori belajar yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa
prasangka (antara klien dan terapist) dalam membantu individu mengatasi
masalah-masalah kehidupannya. Teori ini menyakini bahwa klien sebenarnya
memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapist hanya
membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, dalam Sudrajat
bahwa teknik-teknik assessment dan pendapat para terapist bukanlah hal yang
penting dalam melakukan treatment kepada klien.[2]
Teori jenis ketiga adalah teori
humanistik. Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara
pada manusia itu sendiri. Dari keempat teori belajar, teori humanistiklah yang
paling abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia
pendidikan. Hal ini membuat teori humanistik sangat penting dan menarik untuk dibahas.
Sehingga melalui makalah ini kami ingin mencoba menjelaskan lebih lanjut
tentang teori humanistik.
B. Rumuran
Masalah
1. Apakah teori belajar humanistik itu?
2. Siapakah tokoh-tokoh dalam teori
belajar humanistik?
3. Dimana
kelebihan dan kekurangan teori belajar humanisme?
4. Bagaimana aplikasi teori belajar
humanistik dalam pembelajaran?
5. Apa saja
Model pembelajaran humanisme?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apakah teori belajar humanistik itu.
2.
Untuk
mengetahui siapakah tokoh-tokoh dalam
teori belajar humanistik.
3.
Untuk
mengetahui kelebihan dan kekurangan teori belajar humanisme.
4.
Untuk
mengetahui bagaimana aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran.
5.
Untuk
mengetahui apa saja Model pembelajaran humanisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Humanistik
Teori
belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya,
bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah
membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu
masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang
unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Dalam
teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia
itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya “isi “ dari proses
belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan
dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori
ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada
belajar seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia
keseharian. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan
manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.
Dalam
teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus
berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan
sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Selanjutnya Gagne dan Briggs mengatakan bahwa
pendekatan humanistik adalah pengembangan nilai-nilai dan sikap pribadi yang
dikehendaki secara sosial dan pemerolehan pengetahuan yang luas tentang
sejarah, sastra, dan pengolahan strategi berpikir produktif Pendekatan sistem
bisa dapat di lakukan sehingga para peserta didik dapat memilih suatu rencana
pelajaran agar mereka dapat mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan
belajar atau sejumlah pelajaran yang akan dipelajari atau jenis-jenis pemecahan
masalah dan aktifitas-aktifitas kreatif yang mungkin dilakukan.pembatasan
praktis dalam pemilihan hal-hal itu mungkin di tentukan oleh keterbatasan
bahan-bahan pelajaran dan keadaan tetapi dalam pendekatan sistem itu sendiri
tidak ada yang membatasi keanekaragaman pendidikan ini.[3]
Jadi, teori belajar humanistik
adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan
manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.
B. Tokoh-Tokoh
Teori Belajar Humanisme
Dalam
praktek, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang di usulkan oleh
Ausubel (1968) yang disebut “belajar bermakna” atau Meaningful Learning. (sebagai catatan, teori Ausubel ini juga
dimasukkan ke dalam aliran kognitif). Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom
dan krathwohl dalam bentuk Taksonomi Bloom. Selain itu, empat pakar lain yang
juga termanus ke dalam kubu teori ini adalah Kolb, Honey dan Mumford, serta
Habermas, yang masing-masing pendapatnya akan dibahas berikut ini.
1. Bloom dan Krathwohl
Dalam
hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari)
oleh siswa, yang tercangkup dalam tiga kawasan berikut.
a. Kognitif
Kognitif
terdiri dari enam tingkatan, yaitu:
1) Pengetahuan (mengingat, menghafal);
2) Pemahaman ( menginterpretasikan);
3) Aplikasi ( menggunakan konsep untuk
memecahkan suatu permasalahan);
4) Analisis (menjabarkan suatu kosep);
5) Sintesisi (menggabungkan bagian konsep-konsep
menjadi suatu konsep utuh);
6) Evaluasi ( membandingkan nilai, ide,
metode, dan sebagainya).
b. Psikomotor
Psikomotor
terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1) Peniruan (menirukan gerak);
2) Penggunaan ( menggunakan konsep
untuk melakukan gerak);
3) Ketepatan (melakukan gerak dengan
benar);
4) Perangkaian ( melakukan beberapa
gerakan sekaligus dengan benar);
5) Naturalisasi ( melakukan gerak
secara wajar).
c. Afektif
Afektif
terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1) Pengenalan (ingin menerima, sadar
akan adanya sesuatu);
2) Merespons (aktif berpartisipasi);
3) Penghargaan (menerima nilai-nilai,
setia kepada nilai-nilai tertentu);
4) Pengorganisasian
(menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercaya);
5) Pengalaman (menjadikan nilai-nilai
sebagai bagian dari pola hidup.
Taksonomi Bloom ini, seperti yang
telah kita ketahui berhasil memberi inspirasi kepada banyak pakar lain untuk
mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Pada tingkatan yang lebih
praktis, taksonomi ini lebih banyak membantu praktisi pendidikan untuk
memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami,
operasional, serta dapat diukur. Dari beberapa taksonomi belajar, mungkin
Taksonomi Bloom inilah yang paling populer (setidaknya di Indonesia)
Selain itu, teori Bloom ini juga
banyak dijadikan pedoman untuk membuat butir-butir soal ujian, bahkan bagi
orang-orang yang sering mengkritiktaksonomi tersebut. kritikan atas klasifikasi
kemampuan yang dikemukakan Bloom ternyata diperbaiki oleh pakar pendidikan
dengan mengadakan revisi pada aspek kognitif. Dalam klasifikasi taksonominya
pada aspek kognitif, Bloom mengemukakan enam tingkatan kemampuan yang meliputi
(1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) penerapan, (4) analisis,(5) sintesis, dan
(6) evaluasi. Melalui pakar pendidikan yang terdiri dari Peter W. Airasian,
Katheleen A. Cruikshank, Richard E. Myer, Paur E. Pitrich, James Raths, dan
Merlin C. Wittrock dengan editor Orin w. Anderson dan Davit R. Krathwohl dalam
buku yang berjudul A Taksonomi For
Learning, Teaching and Assessing yang
diterbitkan pada tahun 2001 mengadakan revisi aspek kemampuan kognitif tersebut
dengan memilah dua dimensi, yakni (1) dimensi pengetahuan, dan (2) dimensi
proses kognitif.
Dalam dimensi pengetahuan didalamnya
memuat objek ilmu yang disusun dari (1) pengetahuan fakta, (2) pengetahuan
konsep, (3) pengetahuan prosedural, dan (4) pengetahuan metakognitif. Sedang
dalam dimensi proses kognitif didalmnya memuat enam tingkatan yang meliputi (1)
mengikat, (2) mengerti, (3) menerapkan, (4) menganalisis, (5) mengevaluasi, dan
(6) mencipta.
2. Kolb
Sementara
itu, seorang ahli lain yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat
tahap, yaitu
a. Pengalaman konkrit
b. Pengamatan aktif dan reflektif
c. Konseptualisasi
d. Eksperimentasi aktif.
Pada
tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut
mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakekat
kejadian tersebut. diapun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian
harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar.
Pada
tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif
terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Inilah
yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflektif.
Pada
tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang
sesuatu yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapka sudah mampu
untuk membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai ontoh kajian yang
meskipun tampak berbeda-beda, mempunyai landasan aturan yang sama.
Pada
tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu
aturan umum kesituasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak
hanya memahami “ asal usul” sebuah rumus, tetapi ia juga ia mampu memakai rumus
tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temuai sebelumnya.
Menurut
Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan
berlangsung diluar kesadaran siswa. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya
kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun
dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya itu sering kali
terjadi begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya.
3. Honey dan Mumford
Berdasarkan
teori Kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka
ada empat macam atau tipe siswa, yakni (1) aktifis, (2) reflektor, (3) teoris,
dan (4) pragmatis.
Ciri
dari siswa yang betipe aktifis adalah mereka yang suka melibatka diri pada pengalaman-pengalaman
baru. Mereka cendrung berfikiran terbuka dan mudah diajak berdialog. Namun,
siswa semacam ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu. Ini kadang kala
identik dengan sifat mudah percaya. Dalam proses belajar, mereka mempunyai
metode yang mampu mendorong seeorang menemukan hal-hal baru seperti, broinstorming atau problem solving. Akan tetapi, mereka cepat merasa bosan dengan
hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi.
Untuk
siswa yang bersifat reflektor,
sebaliknya, cendrung sangat berhati-hati dalam mengambil langkah. Dalam proses
pengambilan keputusan, siswa tipe ini cendrung “ konserfatif”, dalam arti
mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruk suatu keputusan.
Sedangkan siswa yang bertipe teoris biasanya sangat kritis, senang
menganalisis, tidak mempunyi pendapat atau penilaian subjektif. Bagi mereka,
berfikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting. Mereka biasanya
juga sangat skeptis dan tidak mempunyai hal-hal yang bersifat spekulatif. Untuk
siswa tipe pragmatis biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis
dari segala hal. Teori memang penting kata mereka. Namun, apabila teori tidak
bisa dipraktikkan, untuk apa? Kebanyakan siswa dengan tipe ini tidak suka
berlarut-larut dalam membahas aspek teoritis filosofis dari sesuatu. Bagi
mereka, sesuatu dikatan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktikkan
4. Habermas
Ahli
psikologi lain adalah habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar sangat
dipengaruhi oleh intraksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia.
Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian,
yaitu
a. Belajar teknis (tecnical Learning)
b. Belajar praktis (practical learning)
c. Belajar emansipatoris (emancipatory learning)
Dalam
belajar teknis, siswa belajar bagaimana berintarksi dengan alam sekelilingnya.
Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara memplajari
keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
Dalam
belajar praktis, siswa juga belajar berintaraksi, tetapi pada tahap ini yang
lebih dipentingkan adalah intraksi antara dia dengan orang-orang
disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti
sebagai suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Akan
tetapi, pemahaman terhadap alam itu justru relevan jika dan hanya jika
berkaitan dengan kepentingan manusia.
Sedangkan
dalam belajar emansifatoris, siswa berusa mencapai pemahaman dan kesadaran yang
sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu lingkungan.
Bagi Habernas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini
dianggap tahap belajar yang paling
tinggi,
sebab transformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan penddikan yang
paling tinggi.[4]
C. Kelebihan
Dan Kekurangan Teori Belajar Humanisme
1. Kelebihan Teori Belajar Humanisme
a.
Pembelajaran dengan teori ini sangat cocok diterapkan
untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
b.
Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa
merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola
pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
c.
Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani,
tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara
tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang lain atau melanggar aturan,
norma, disiplin, atau etika yang berlaku.[5]
2. Kelemahan
teori belajar humanistik
Karena dalam teori ini guru ialah sebagai fasilitator
maka kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif. Karena
bagi siswa yang kurang aktif, dia akan takut atau malu untuk bertanya pada
gurunya sehingga dia akan tertinggal oleh teman-temannya yang aktif dalam
kegiatan pembelajaran, padahal dalam teori ini guru akan memberikan respons
bila murid yang diajar juga aktif dalam menanggapi respons yang diberikan oleh
guru. Karena siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak
ditentukan oleh siswa itu sendiri, peran guru dalam proses pembentukan dan
pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang.
D.
Aplikasi
Teori Belajar Humanistik Dalam Pembelajaran
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada roh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik ialah menjadi fasilitator bagi para siswa dengan memberikan motivasi
terkait dengan kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memberikan fasilitas pengalaman belajar siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.[6]
Pandangan
kalangan humanis tentang proses belajar mengaplikasikan perlunya penataan peran
guru/ tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan. Menurut pandangan ini guru/
tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar
belaka. Guru sebaiknya bukan lagi sebagai proses pembelajaran tetapi yang
terpenting ialah memfasilitasi tumbuhnya
motivasi belajar secara instrinsik pada diri peserta didik. Peserta didik harus
diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan
kesadaran sidentitas dirinya.[7]
Guru
berperan sebagai fasilitator bukan berarti bahwa ia harus berfikir pasif akan
tetapi justru guru harus berperan aktif
dalam suatu proses pembelajaran. Belajar bermakna terjadi jika sesuai dengan
kebutuhan peserta didik, disertai motivasi intrinsik dan kurikulum yang tidak
kaku. Kejadian belajar bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas
keingintahuan peserta didik mempelajari segalanya tentang bidang studi
tersebut. Guru harus aktif dan paham betul atas keunikan peserta didik. Adapun
proses yang umumnya dilalui sebagai berikut.
1. Merumuskan tujuan belajar yang
jelas.
2. Mengusahakan partisipasi siswa
melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur, dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan
kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir
kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
5. Siswa didorong untuk bebas
mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang
diinginkan dan menanggung resiko dari pelaku yang ditunjukan.
6. Guru menerima siswa apa adanya,
berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi
mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk
maju sesuai dengan kecepatannya.
8. Evaluasi diberikan secara individual
berdasarkan perolehan prestasi belajar siswa. [8]
E. Model Pembelajaran Humanisme
1. Humaning
Of The Classroom, ini dilatarbelakangi oleh kondisi
sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga menyebabkan peserta didik
putus asa yang akhirnya mengakhiri hidupnya. Kasus ini banyak terjadi di
Amerika Serikat dan Jepang. Humaning Of
The Classroom ini dicetuskan oleh Jhon P. Miller yang terfokus pada
pengembangan model pendidikan afektif. Pendidikan model ini tertumpu pada tiga
hal, yaitu: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan
akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan
kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan terbatas pada subtansi
materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang
sangat manusiawi.
2. Active
Learning
dicetuskan oleh Melvin L. Siberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model
pembelajaran ini ialah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari
penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan
tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan
sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan,
memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Dalam Active Learning cara belajar dengan
mendengarkan saja akan sedikit ingat, dengan cara mendengarkan, melihat dan
mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat,
berdiskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan
cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus ialah dengan membelajarkan.
3. Quantum
Learning
merupakan cara pengubahan macam-macam interaksi. Hubungan dan inspirasi yang di
dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, Quantum Learning menggabungkan sugetologi teknik pemercepatan
belajar dan neurolenguistik dengan teori keyakinan dan metode tertentu. Quantum Learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan
potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi
yang tidak bisa diduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa
meraih prestasi belajar secara berlipat ganda. Salah satu konsep dasar dari
metode ini ialah belajar itu harus mengasikkan dan berlangsung dalam suasana
gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam
dengan baik.
4. The Accelerated Learning, merupakan pembelajaran yang
dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini berlangsung sangat cepat,
menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini Dave Meiver menyarankan kepada
guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan somantic, auditory, visual dan intellectual
(SAVI). Somantic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar
dengan bergerak dan berbuat). Auditory
adalah learning bay talking and hearing
(belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by
observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya ialah learning by problem solving and reflecting
(belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi). Bobbi De Porter
menganggap accelerated learning dapat
memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan
upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur
yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan,
warna, cara berfikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun
semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan
pengalaman belajar efektif .[9]
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Teori belajar humanistik yaitu
belajar untuk memanusiakan manusia.Manusia sebagai aktor dalam drama kehidupan,
bukan reaktor terhadap instink atau tekanan lingkungan. Manusia mempunyai
keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi lebih baik dan juga belajar.
2. Tokoh-tokoh dalam teori belajar
humanistik yaitu Kolb, Honey dan Mumford, serta Habermas.
3. Kelebihan
dan kekurangan teori belajar humanisme.
a. Kelebihan
Sangat
cocok untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian,
hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial ; siswa
merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola
pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. ; dan siswa menjadi manusia
yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur
pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang
lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku.
b. Kekurangan
Kurang
cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau pasif; siswa berperan
sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar
lebih banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri ; peran guru dalam proses
pembentukan dan pendewasaan kepribadian siswa menjadi berkurang.
4. Aplikasi teori belajar humanistik
dalam pembelajaran pada umumnya sebagai berikut:
a. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
b. Mengusahakan partisipasi aktif
peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
c. Mendorong peserta didik untuk
mengembangkan kesanggupan peserta didik untuk belajar atas inisiatif sendiri
d. Mendorong peserta didik untuk peka
berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
e. Peserta didik di dorong untuk bebas
mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang
diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
f. Guru menerima peserta didik apa
adanya, berusaha memahami jalan pikiran peserta didik, tidak menilai secara
normatif tetapi mendorong peserta didik untuk bertanggungjawab atas segala
resiko perbuatan atau proses belajarnya.
g. Memberikan kesempatan murid untuk
maju sesuai dengan kecepatannya
h. Evaluasi diberikan secara individual
berdasarkan perolehan prestasi peserta didik.
- Model pembelajaran humanisme : Humaning of The Classroom, Active Learning, Quantum Learning, dan The Accelerated Learning.
B. Saran
Sebagai
seorang mahasiswa yang tidak pernah terlepas dari dunia pendidikan terlebih
bagi mahasiswa calon guru yang akan mengajar, tentunya kita harus mengetahui berbagai macam teori
dalam belajar. karena dengan mengetahui teori belajar kita dapat memberikan
pelayanan kepada siwa atau pelajar sesuai dengan teori yang ada. Sehingga apa
yang kita sampaikan dapat diterima dan dipahami dengan mudah oleh semua siswa
yang kita ajar. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mempelajari
berbagai macam teori belajar, agar kita bisa menguasai dan
mengimplementasikannya dalam proses belajar mengajar.
[1] Winkel,W.S., Psikologi Pengajaran, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1996), Hlm. 550.
[2]
Sudrajat, Ahkmad. Media
Pembelajaran. Artikel. Diakses Di Http://Ahkmadsudrajat.
Wordpress. Com /Bahan-Ajar/Media-Pembelajaran/, Tanggal 29 Maret 2016.
[3] Uno,
Hamzah B., Orientasi Baru Dalam Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), Hlm 13.
[4] Uno,
Hamzah B., Orientasi Baru Dalam Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), Hlm 13-17
[5]
Herpratiwi, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bandar lampung : Universitas
Lampung, 2009) Hlm. 56
[7] Herpratiwi, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bandar
lampung : Universitas Lampung, 2009) Hlm. 61
[9]Wardani,
muhamma. Artikel. Diakses di
No comments:
Post a Comment