Sunday, 8 January 2017

SEJARAH HADIS



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
      Segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah SAW menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam yang kita kenal sebagai hadits. Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Para sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat yang mungkin dipergunakannya. Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan[1].
      Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi Saw, muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap, seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat, penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan hadis?
2.      Bagaimanakah pembukuan atau kodifikasi hadis itu berlangsung?

C.    Tujuan
1.      Untuk menjelaskan tentang sejarah perkembangan hadis.
2.      Untuk mengetahui pembukuan atau pengkodifikasian hadis.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Hadits
      Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan dan pengamalan umat dari generasi ke generasi[2]. Dengan memperhatikan mana yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya atau lahirnya  di zaman Nabi SAW. Meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang mempengaruhi hadis tersebut. Para ulama muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis adalah sebagai berikut:
1.      Periode Perkembangan hadis pada masa Rasulullah SAW
           Periode ini disebut Ashr Al-wahyi wa At-Taqwin’ ( masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam ). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-qur’an untuk menegakkan syariat islam dalam membentuk masyarakat islam.
            Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. Memberi ceramah, pengajian, khotbah atau penjelas terhadap pertanyaan sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau urusan daerah yang datang kepada Nabi.
            Pada masa Nabi SAW, kepandaian  baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari serta mentabligkannya kepada orang lain.
            Tidak dituliskannya hadis secara resmi pada masa Nabi, bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadis. Dalam sejarah penulisan hadis  terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadis, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Abdullaah Ibn Amr Ibn ‘Ash, shahifah-nya disebut Shadiqah.
b.      Ali bin abi tahalib, penulis hadis tentang hukum diyat, hukum keluarga dan lain-lain.
c.       Anas Ibn Malik
            Di samping itu, ketika Nabi SAW. Menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirim surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah Islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di Timur, Utara dan Barat. Surat-surat tersebut merupakan koleksi hadis juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. Telah dilakukan penulisan hadis dikalangan sahabat.
2.      Periode Perkembangan hadis pada masa Rasyidin (11 H – 40 H)
                        Periode ini disebut ‘Ashr At Tatsabbut wa Al iqbal min Al Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat) Nabi SAW, wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-qur’an dan As-sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat[3].
                        Pada khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak periwayatan hadis, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk memyebarluaskan Al-Qur’an[4].
     Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis  yakni:
a.       Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang mereka terima dari Nabi SAW. Yang mereka hafal benar lafadz dari Nabi.
b.      Dengan maknanya, yaitu mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafadz asli dari Nabi SAW[5].
            Pada masa ini, khalifah Umur mempunyai gagasan untuk membukukan hadis, namun maksud tersebut diurungkan setelah beliau melakukann sahat istikharah[6].
3.      Perioda Perkembangan pada masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Pada masa ini, daerah islam sudah meluas, yakni ke Negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkan bahkan pada 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat kedaerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW. Diharuskan berangkat keseluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar  di wilayah tersebut. Dengan demikian pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis kepelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadispun menjadi ramai.
Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (centrum perkembangan) hadis di berbagai daerah diseluruh negeri. Adapun bendaharawannya adalah sebagai berikut:
a.       Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi. Beliau meriwayatkan 5.374 hadis, sedangkan menurut Al- kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadis.
b.      ‘Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis.
c.       ‘Aiysah, istri Rasul SAW. Meriwayatkan 2.276 hadis.
d.      ‘Abdullah Ibn ‘Abbas meriwayatkan 1.660 hadis.
e.       Jabir Ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis.
f.       Abu Sa’id Al-khudri meriwayatkan 1.170 hadis[7].
Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan dan pengembangan hadis adalah sebagai berikut:
a.       Madinah, dengan tokoh-tokohnya adalah Abu bakar, Umar, Ali, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibn umar, Sa’id Al-khudri, Mu’adz bin jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari sini adalah mujahid bin Jabarin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan dan Ikrimah maula Ibnu Abbas.
b.      Makkah, dengan tokoh-tokohnya ialah Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Diantara para tabi’in yang muncul disini ialah Ar-Rabi’ bin Qasim, Kamal bin Zaid An-Nakhai’, Said bin Zubair Al-Asadi, Amir bin Sarahil Asy-Sya’ibi, Ibrahim Ankha’I, dan Abu Ishak As-Sa’bi.
c.       Basrah, dengan tokoh-tokohnya  ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Ma’qal bin Yasar, Abdurrahman bin Samrah, dan Abu said Al-Anshari. Diantara para tabi’in yang muncul disini adalah Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub As-sakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin Du’amah As-sudusi dan Hisyam bin Hasan.
d.      Syam, dengan tokoh-tokohnya  ialah Abu Ubaidah Al-Jarah, Bilal bin Rabah, Ubadah Bin shamit, Mu’adz bin Jabal, Sa’ad bin Ubadah, Abu darda Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan Iyad bin Ghanan. Para tabi’in yang muncul disini ialah salim bin abdillah al-muharibi, Abu Idris Al-khaulani dan  Umar bin Hanna’i.
e.       Mesir, dengan tokoh-tokohnya ialah Abdullah bin Amr, Uqubah bin Amir, Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah bin Al-Haris. Para tabi’in yang muncul disini ialah Amr bin Al-Haris, nKhair bin Nu’aimi Al-Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Jafar dan Abdullah bin Sulaiman Ath-Thawil[8].
4.      Periode Perkembangan Hadis Pada Abad II dan III Hijriah
Pada periode ini disebut Ashr Al-Kitabahwa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya penulisan dan pembukuan secara resmi. Yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perorangan, sebelum ada abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa Tabiin, sahabat kecil, sahabat besar bahkan Nabi SAW[9].
Pada masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H[10]. Umar Ibn Abdul Azis sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam pengahafalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya., ada kemungkinan hadis-hsdis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghafalnya ke alam barzahk.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada gubernur  Madinah, Abu bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin. Disamping itu Umar mengirim surat-surat kepada gubernur yang ad di bawah kekuasaannya untuk membukukkan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah-wilayah mereka masing-masing. Kitab hadis yang di tulis oleh Ibn Hamz, yang merupakan kitap hadis yang pertama yang ditulis atas perintah kepala negara, tidak sampai kepada kita, dan kitap itu tidak membukukan seluruh hadis yang ada di Madinah. Pembukuan seluruh yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadis pada masnya[11].
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukukan hadis atas anjuran   Abu ‘Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah. Akan tetapi, tak dapat diketahui lagi siapakah ulama yang mula-mula membukukan hadis sesudah Az-Zuhri seluruhnya hidup pada satu zaman.
Para ulama abad kedua membukan hadis tanpa menyaringnya,yakni mereka tidak hanya membukukan hadios-hadis saja, tetapi fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya. Oleh karena itu, dalam kitrab-kitab itu terdapat hadis-hadis Marfu’, hadis-hadis Mauquf dan hadis-hadis Mauqthu’. Kitab hadis seperti itu dan mudah kita dapatkan adalah Al-Muwaththa, susunan Imam Malik.
B.     Sejarah Penulisan Dan Pembukuan Hadits
      Sebelum agama islam datang, bangsa arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan membaca keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-adi (w.35 H) misalnya, sudah belajar dan menulis dan sudah menguasainya dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa arab dalam surat yang ditunjukan kepada kisrah. Kota mekah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca. Sehingga dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota mekah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud bahwa orang arab adalah orang yang ummi.[12]
      Pada masa nabi, tulis-menulis sudah tersebar luas. Apalagi al-qur’an menganjurkan untuk belajar dan membaca. Rasulullah mengangkat para penulis wahyu hingga jumlahnya mencapai 40 orang. 
      Oleh karena itu setelah rasulullah wafat Al-Qur’an telah di hafalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat suci Al-Qur’an pun telah lengkap di tulis, tetapi belum terkumpul dalam sebuah mushaf. Adapun hadits dan sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Qur’an. Penulisan hadis di lakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak diperintahkan oleh rasul.  
      Dan mereka berkata kepadanya,” kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syari’at umum.” Mendengar ucapan mereka, abdullah bertannya kepada rasulullah SAW. Kemudian bersabda, “tulislah apa yang kamu dengarkan dariku, demi tuhan yang jiwaku berada di tangan-nya, tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran.”
      Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa ali mempunyai sebuah sahifah dan anas bin malik mempunyai sebuah buku cerita.
      Abu hurairah menyatakan,”tidak ada dari seorang sahabat nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis rasulullah dari padaku, selan abdullah bin amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.” Sebagian para ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis di-nashak (di-manshuk) dengan hadist yang memberi izin yang datang kemudian.
      Sebagian ulama lain berpendapat bahwa rasulullah tidak menghalangi para sahabat untuk menulis hadist secara tidak resmi. Nabi menulis hadis ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadist dan al-qur’an. Adapun izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadist dengan al-qur’an. Oleh karena itu, al-qur’an ditulis dengan dan telah lengkap pula turunannya, tidak ada larangannya untuk menulis hadist. Tegasnya, antara dua hadist rasulullah diatas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan al-qur’an dan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan atau kuat hapalannya. Izin menulis hadis diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.[13]
      Hanya beberapa seorang sahabat yang mencatat hadis yang didengarnya dari nabi SAW. Diantara sahabata yang paling banyak meghapal atau meriwayatkan hadis adalah abu hurairah. Menurut ibnu jauzi, hadis yang diriwayatkan oleh abu hurairah berjumlah 5.374 buah hadis. Adapun sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah abu hurairah adalah:
1.   ‘abdullah bin umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
2.   Anas bin malik meriwayatkan 2.267 buah hadis.
3.   Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
4.   ‘abdullah ibnu abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
5.   Jabir bin abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6.   Abu said al-khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
          Dari materi yang sudah diuraikan diatas, kita mengetahui bahwa dari periode ke periode selanjutnya, hadis mengalami berbagai perubahan dan kemajuan yang sangat pesat, dimulai dari awal perkembangan hadis pada masa Rasullullah SAW hingga pada masa pengkodifikasian hadis. Melalui perubahan-perubahan itulah yang menjadikan kesempurnaan sebuah hadis, terlebih kemurniannya yang direalisasikan dalam bentuk hafalan dan kitab-kitab hadist yang sampai kepada generasi kita yang sekarang ini.

B. Saran
Tentunya penulis dalam hal ini menyarankan kepada pembanya agar supaya mempelajari dan menelaah makalah ini Sebagai referensi dalam belajar .Sebagai penulis makalah ini tentunya dalam penulisan masih banyak kesalahan dalam penulisan dan lain sebagaai penulis saya menyarankan kepada para pembaca agar memberikan kritik dan dan saran untuk terbentuknya makalah yang lebih baik.















[1] Mudasir. Ilmu Hadits. 1999 (Bandung: Pustaka Setia). Hal 23
[2] Endang soetari. Ilmu hadits: kajian riwayah dan diriwayah. Bandung: mimbar pustaka. 2005. Hlm 29.
[3] M. hasbi Ash-shidieqy. Sejarah dan pengantar ilmu hadits. Jakarta: bulan bintang.987. hlm. 46.
[4] Ibid. Hlm.62.
[5] Ibid. Hlm. 63.
[6] Ibid. Hlm. 46.
[7] Soetari. Op. Cit. Hlm. 48.
[8] Ibid. Hlm. 48-49.
[9] ibid. Hlm. 78-88.
[10] Soetari. Op. Cit. Hlm. 54.
[11] Az-zuhri menerima hadits dari ibnu ‘umar, sahel ibn sa’ad, anas ibn malik, muhammad ibnu al-rabi’, said ibn musaiyab, dan abu umamah ibn sahel.
[12] Al-Qaththan. Mabahits fi’ulum al-hadits. Terj. Mifdhol abdurrahman. Jakarta:pustaka al-kautsar.2005. hlm.     24-26
[13] Muhammad ahmad, dkk. Ulumul hadits. Bandung: pustaka setia. 2005. Hlm. 29-31.

No comments:

Post a Comment