Wednesday, 28 December 2016

TAHKRIJ HADIS



TAKHRIJ HADITS
A.  Pengertian hadits
Secara etimologi kata” takhrij” berasal dari akar kata kharaja yakhruju khurujan mendapat tambahan tasydid atau syiddah pada ra’ (‘ain fi’il) menjadi خرج-  يخرج  -تخريجا  yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan. Maksudnya, menampakkan sesuatu yang tidak atau sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan, dan masih samar. Penampakkan dan pengeluaran disini tidak harus terbentuk fisik yang konkret, tetapi mencakup non fisik yang hanya memerlukan tenaga dan pikiran seperti makna kata istikhraj yang diartikan istinbat yang berarti mengeluarkan hukum dari nash / teks alqur’an dan hadits.
Menurut istilah ada beberapa definisi takhrij yang dikemukakan oleh para ulama, diantaranya sebagai berikut:
1.    Takhrij menurut ulama hadits adalah
ذكرالمؤلفالحديث إسنا دِه في كتا به
Artinya :
“Penyebutan  seorang penyusun bahwa hadits itu dengan sanadnya terdapat dalam kitabnya.”
Ulama hadits pada umumnya  berkata :
هذا الحد يثٌ أخرجه فلا ن
Artinya :
“Hadits in dengan sanadnya disebutkan fullan dalam kitabnya.”
Kata أخرجهه atau خرجه makananya sama atau أخراج  dan تخريج maknanya juga sama yaitu sebagai mana takhrij diatas.
Kata خرجه البخا ري   atau أخرجه البخا ري sama dengan disebutkan oleh albukharri hadits itu bersama sanadnya dalam kitabnya. Al bukhari sebgai orang yang melakukannya disebut mukharrij.
2.    Arti takhrij lainnya

إيراد المؤلفّ أحاديث كتابب ما بأسا نبيد لنسه يلتقي مع مؤلف اللآ صل لفي شيخه أو من فوقه
Artinya :
“Seorang penyusun mendatangkan beberapa hadits dari sebuah kitab dengan menyebut sanadnya sendiri, maka ia bertemu dengan penyusun asal pada syaikhnya (gurunya) atau orang diatasnya. “
Contoh definisi takhrij kedua ini seperti perkataan ulama hadits.
Hadis ini disebutkan oleh si fullan dengan sanadnya sendiri dan bertemu dengan penyusun asal pada syaikhnya atau diatasnya.
Penyusun kedua disebut mustakhraj seperti kitab:
Maksud ungkapan diatas, muslim menyebutkan hadits-hadits dengan sanadnya dalam kitabnya, kemudian abu uwanah datang mengeluarkan hadits-hadits tersebut dengan menggunakan sanadnya sendiri, abu uwana bertemu dengan muslim pada gurunya, atau orang diatasnya sampai dengan sahabat. Dengan demikian takhrih dan istikhraj maknanya sama sebagaimana diatas. Demikian juga kitab almustakhraj ‘ala al bukhari yang ditulis oleh abu bakar alisma’ili. Makananya hadits itu disebutkan oleh al bukhari dengan sanadnya dalam kitabnya, kemudian dikeluarkannya oleh abu bakar al isma’ili dengan menggunakan sanad sendiri maka ada pertemuan antara dua orang tersebut pada gurunya atau orang diatasnya, yaitu gurunya guru dan seterusnya sampai dengan sahabat. Maksud dari mukhtakhraj ini untuk memperkuat sanad dan tambahan pada matan.
3.    Takhrij adalah Menunjukkan asal beberapa hadits pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadits) dengan menerangkan hukum / kualitasnya.
Definisi pertama dilakukan dengan penyusunnya atau orang lain yang ingin mnyebutkan sumber pengambilan suatu hadits, seperti diberbagai buku hadits atau  syarrahnya. Misalnya seseorang yang mengutip sebuah hadits dari kitab Al-Bukhari mengatakan pada awal atau akhir penukilan : akhrajhu albukhari yang berarti hadits ditakhrij oleh Al – Bukhari dan seterusnya. Atau untuk menyatakan perawi suatu hadits dikatakan dengan kata : rowahulalbukhhari ( hadits diriwayatkan oleh albukhari) definisi kedua sudah langka dilakukan orang pada era sekarang, karna menyangkut keterbatasan dan kemampuan para ahli hadits, disamping keterputusan predikat sebagai periwayat hadits. Kecuali bila dilakukan dengan sesama muhaddis atau talib al hadits dalam artian sederhana sedangkan definisi ketiga masih terbuka lebar kesempatan pada para peneliti hadits untuk mengadakan penelusuran dari sumber aslinya atau dari induk hadits untuk diteliti sanad dan matannya  sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadits  riwayah dan  dirayah, sehingga dapat menemukan temuan baru atau temuan yang sama dengan peneliti lain tentang kualitas suatu hadits.



B.  Tujuan dan faedah takhrij
Dalam melakukan takhrij tentunya ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pokok dari takhrij yang diingin di capai seorang peneliti adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui eksistensi suatu hadits apakah benar suatu hadits yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadits atau tidak.
2.      Mengetahui sumber otentik suatu hadits dari buku hadits apa saja yang didapatkan.
3.      Mengetahui ada berapa tempat hadits tersebut dengan sanad yang berbeda didalam sebuah buku hadits atau dalam beberapa buku induk hadits.
4.      Mengetahui kualitas hadits ( maqbul/diterima atau mardud /tertolak).[1]
Faedah dan manfaat takhrij cukup banyak di antaranya yang dapat dipetik oleh yang melakukannya adalah sebagai berikut:
1.  Mengetahui referensi beberapa buku hadits, dengan takhrij seseorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadits yag di teliti dan di dalam kitab hadits apa saja hadits tersebut di dapatkan.
2.    Menghimpun sejumlah sanad hadits,dengan takhrij seseorang dapat menemukan    sebuah hadits yang akan diteliti di sebuah atau beberapa buku induk hadits, misalnya terkadang di beberapa tempat di dalam  kitab Al-bukhari saja,atau di dalam kitab- kitab lain.Dengan demikian ia akan menghimpun sejumlah sanad.
3.    Mengetahui keadaan sanad yang bersambung dan yang terputus dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadits serta kejujuran dalam periwayatan.
4.    Mengetahui status suatu hadits.Terkadang ditemukan sanad suatu hadits dha’if, tetapi melalui sanad lain hukumnya shahih.
5.    Meningkatkan suatu hadits yang dhoif menjadi hasan li ghayrihi  karena adanya dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.Atau meningkatkan hadits hasan menjadi shahih li ghayrihi  dengan di temukannya sanad lain  yang   seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.
6.    Mengetahui bagaimana para imam hadits menilai suatu kualitas hadits dan bagaimana kritikan yang disampaikan.
7.    Seseorang yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadits.

C. Sejarah dan Pengenalan Kitab – Kitab Takhrij
1.  Sejarah Ilmu Takhrij
Ulama-ulama terdahulu belum begitu membutuhkan ilmu takhrijhadits \ini, khususnya ulama yang berada pada awal abad kelima, karena Alloh memberi karunia kepada mereka suka menghafal dan banyak mengkaji kitab-kitab yang bersanad yang menghimpun hadits-hadits Nabi SAW. Keadaan ini terus berlanjut sampai beberapa abad, hingga tradisi kecintaan terhadap hafalan dan kajian kitab-kitab hadits serta sumber rujukan pokoknya menjadi lemah.[2] Ketika tradisi ini lemah, para ulama selanjutnya mulai menemui kesulitan untuk mengetahui sumber suatu hadits yang terdapat dalam Kitab Fiqih Tafsir dan Tarikh, maka muncullah segolongan ulama yang mulai melakukan Takhrijhadits terhadap karya-karya ilmu tersebut dan menjelaskan kedudukan hadits itu apakah statusnya shohih. Hasan atau doif. Waktu itulah muncul kutub at-takhrij (kitab-kitab takhrij).
Kitab-kitab Takhrij generasi pertama, seperti yang dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan adalah kitab-kitab buah pena al-Khatib al-Baghdadiy [w. 463 H]. Diantara kitab yang terkenal adalah:
a. Takhrij al-Fawaid al-Muntakhobah al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Al-Ghoroib,
b. Takhrij al-Fawaid al-Muntakhobah al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Qosim al-Mahrowani.
c.   Kitab Takhrijhadits al-Muhazzab oleh karya Muhammad bin Musa al-Hazimi[3].
Kemudian pada masa selanjutnya, karya-karya dalam bidang ilmu takhrijhadits semakin meluas hingga mencapai puluhan. Sumbangan karya-karya tersebut tidak dapat dipungkiri sangat signifikan terhadap perkembangan ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya.
Mahmud At-Tahhan menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi cabang ilmu takhrij ini sangat penting sekali bagi setiap ilmuan yang bergelut dibidang ilmu syariah khususnya bagi yang bergelut dibidang ilmu hadits dengan ilhnmu ini seseorang bisa memeriksa hadis ke sumber asalnya.
2.  Pengenalan kitab-kitab takhrij
Berikut adalah kitab-kitab takhrij yang termasyhur.
a.    Nashb ar-Royah li Ahadits al-Hidayah karya Abdulloh bin Yusuf al-Zaila’i (w.762 H).
Kitab ini mentakhrijhadits-hadits yang dijadikan oleh al-Allamah Ali bin Abi Bakar al-Marghinani al-Hanafi (w.593 H) dalam kitab al-Hidayah. Kitab ini merupakan kitab fikih Hanafi,sedangkan kitab takhrij ini merupakan yang paling luas dan yang paling dikenal dibanding kitab takhrij lainnya.
Al- Kattani berkata, “kitab ini adalah kitab takhrij yang sangat bemanfaat sekali dijadikan patokan oleh kalangan pensyarah kitab al-Hidayah, bahkan Ibnu Hajar banyak mengambil manfaat dari buku dalam disiplin ilmu hadits, nama-nama  perawi dan luasnya pandangan beliau tentang haditsmarfu’
a.    Takhrij Ahadits al-Mukhtashar al-Kabir karya Muhammad bin Ahmad Abd al-Hadi al-Maqdisy (w. 744 H).
b.    Takhrij Ahadits al-Kasysyaf li az- Zamakhsyari karya Abdullah bi Yusuf az-Zaila’i. Ia sudah dicetak.
c.    Irwa’ al Ghalil fi Takhtij Ahadits Manar as-Sabil, karya asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani.
d.    At-Talkhish al-Habir, Takhrij Ahadits  al-Wajiz al-Kabir fi Li ar-Rifa”i, ditulis olehal-Hafidz Ibnu Hajar, sudah dicetak.
e.    Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, karya al-Hafidz Ibnu Hajar.
f.     Al-Badr al-Munir fi al-Takhrij al-Ahaditz wa al-Atsar al-Waqi`ah fi al-Syarh al-Kabirli ar-Rafi’i [Abu al-Qasim Abd al-Karim Ibn Muhammad al-Qazwayniy al-Rafi`iy al-Syafi`iy – w.623 H], karya Umar Ibn Ali Ibn al-Mulqan (w. 804 H); telah ditahqiq di dalam risalah Majister di Universitas Islam Madinah.
g.    Al-Mughniy `an Haml al-Ashfar fi al-Ashfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya’ min al-Akhbar [al-Ghazaliy], karya al-Hafizh Zayn al-Din Abd al-Rahim Ibn al-Husayn al-Iraqiy (w. 806 H);
h.    Al-Takhrij al-Ahadits al-latiy Yusyiru Ilayha al-Tirmidziy fi Kulli Bab, karya al-Iraqiy;
i.      Ad- Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, karya al-Hafidz Ibnu Hajar.
j.      Tuhfah ar-Rawi fi Takhrij Ahadits al-Baidhawi, karya al-Hafidz Abdurra’uf al-Munawi.
Diantara kitab-kitab takhrij yang disebutkan di atas yang sudah banyak dipergunakan oleh penuntut ilmu, yaitu:Nashb ar-Royah li Ahadits al-Hidayah dan At-Talkhish al-Habir, Takhrij Ahadits  al-Wajiz al-Kabir fi Li ar-Rifa”i[4].
Dalam melakukan takhrij, seseorang memerlukan kitab-kitab tertentu yang dapat dijadikan pegangan atau pedoman sehingga dapat melakukan kegiatan takhrij secara mudah dan mencapai sasaran yang dituju. Diantara kitab-kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam mentakhri jadalah:
a) Usul al – Takhrij wa Dirasat Al – Asanid oleh Muhammad Al-Tahhan,
b) Husul al-Tafrij bi Usul al-Takhrij oleh Ahmad ibn Muhammad al-Siddiq al- Gharami,
c) Turuq TakhrijHadits Rasul Allah Sawkarya Abu Muhammad al-Mahdi ibn `Abd al-Qadir ibn `Abd al Hadi,
d) Metodologi Penelitian Hadits Nabi oleh Syuhudi Ismail.
e)   al-Mu’jam al-Mufharos li Alfazi Ahadis al-Nabawi oleh A.J. Wensinck
f) Miftah Kunuz al-Sunnah oleh pengarang yang sama diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd Baqi.
g) Mausu’ah Athraful Hadis an-Nabawi oleh Zaglul.
h) Al-Istiab oleh Ibnu Abd Barr
i) Usul al-Ghabah oleh Abd Atsir
j)  Al-Ishobah oleh Ibn Hajar al-Asqolani.
k) Al-Jarh wa at-Ta’di juga karya Ibnu Hajar.

D. Metode Takhrij
Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu;
1.    Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat
Metode ini adalah metode dengan cara mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, adapun kitab-kitab pembantu dari metode ini adalah:
a)      Al-Masanid (musnad-musnad).
Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab ini   hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.[5] Musnad yang dapat digunakan adalah; musnad Ahmad ibn Hanbal , Musnad Dawud Al Tayalisi, Musnad Al Humaidi, Musnad Abu Hanifah, Musnad As Syafi’i, dsb. Cara penggunaannya adalah; misalnya sahabat yang meriwayatkan hadits itu bernama Ali, maka pencarian atau penelusuran dilakukan melalui huruf ‘ayn.
b)      Kitab-kitab Al-Atraf.
Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap. Di antara kitab-kitabAtraf yang dapat dipergunakan adalah; Atraf As Shohihayn, karya Al Wasiti dan Al Dimashqi, Tuhfatul Al Ashrof bi Ma’rifat Al Atraf       karya Al Mizzi yang merupakan Syarah kitab Al Ashraf bi ma’rifat Al Atraf karya ibn ‘Asakir, Ithaf Al Mahram bi Atraf Al ‘Ashrah karya Ibn Hajar Al Asqalani, dsb. Cara penggunaan kitab ini seperti seperti cara menggunakan kitab musnad, artinya       disusun secara alfabetis Hija’iyah.
c)      Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam).
Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya. Dan kitab mu’jam yang dapat kita gunakan adalah; mu’jam Al Kabir, Mu’jam Al Awsat, dan Mu’jam Al Saghir yang kesemuanya adalah karya Al Tabrani. Juga kitab Mu’jam As Shahabah karya Al Mawasili, Mu’jam As Sahabh karya Al-Hamdani. Dan cara penggunaannya tidak     jauh berbeda dengan kitab musnad dan kitab Atraf.
Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari metode ini adalah ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila perawi yang hendak diteliti itu tidak diketahui.[6]
2.     Takhrij Melalui Lafadz Pertama Matan Hadits
Metode takhrijhadits menurut lafadz pertama, yaitu suatu metode yang berdasarkan pada lafadz pertama matan hadits, sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah danal fabetis sehingga metode ini mempermudah pencarian hadits yang dimaksud[7]. Misalnya, apabila akan men-takhrijhadits yang berbunyi;
الشَّدِيْدبِالصُرْعَةِ ُلَيْسَ
Untuk mengetahui lafadz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad fuad Abdul Baqi, penggalan hadits tersebut terdapat di halaman 2014. Bearti, lafadz yang dicari berada pada halaman 2014 juz 4.  Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadits yang dicari adalah

عَنْاَبِيْهُرَيْرَةَأَنَّرَسُوْلَاللّهِصَلَّىاللّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَاَلَ: لَيْسَالشَّدِيْدُبِاالصُرْعَةِاِنَّمَاالشَدِيْدُالَّذِيْيَمْلِكُنَفْسَهُعِنْدَالغَيْبِ
            Artinya:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalh orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”.
            Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorangmukharrij untuk menemukan hadits-hadits yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafadz pertamanya sedikit saja, maka akan sulit untuk menemukan hadits yang dimaksud.
            Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan huruf kamus, misalnya: “Al-Jami’u Ash Shoghir min Ahadits Al-Basyir An Nadzir” karya As Suyuti[8].
3.    Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadits
Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian haditsnya sehingga pencarian hadits-hadits yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitik beratkan pencarian hadits berdasarkan lafadz – lafadznya yang asing dan jarang penggunaanya.
            Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al – Mu`jam Al – Mufahras li Al-faz Al – Hadit  An – Nabawi. Kitab ini mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadits sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam Ahmad[9]
     Contohnya pencarian hadits berikut;
اِنَّالنَّبِيَصَلَّىاللّهِعَلَيْهِوَسَلَّمَنَهَىعَنْطَعَامِالْمُتَبَارِيَيْنِأَنْيُؤْكَلَ
Dalam pencarian hadits di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri melalui kata-kata naha (نَهَى) ta’am(طَعَام), yu’kal (يُؤْكَلْ) al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَينِ). Akan tetapi dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَيْنِ) karena kata tersebut jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadits, penggunaan kata tabara (تَبَارَى) di dalam kitab induk hadits (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali.
            Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadits dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
             Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alatuntuk mencari hadits. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin  asing kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadits. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar tersebutdicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jammenurut urutannya secara abjad (huruf hijaiyah).
             Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang akan kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan ditemukan hadits yang sedang dicari dalam bentuk potongan-potongan hadits (tidak lengkap). Mengiringi hadits tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadits itu yang dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
            Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian hadits dan memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.

4.      Takhrij Berdasarkan Tema Hadits
Metode ini berdasrkan pada tema dari suatu hadits. Oleh karena itu untuk melakukan takhrijdengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadits yang akan di – takhrijdan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadits memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian seorang men – takhrij harus mencarinya pada tema – tema yang mungkin dikandung oleh hadits tersebut. Contoh :

بُنِيَالاِسْلاَمُعَلَىخَمْسٍشَهَادَةِانْلاَاِلهَاِلاَّاللّهُوانَّمُحَمَّدّارَسُوْلُاللَّهِوَاِقَامِالصّلاَةِوَايْتَاءِالزَّكاَةِ وَصَوْمِرَمَضَانَوَحَجّالْبَيْتِمَنِاسْتَطَاعَاِلَيْهِسَبِيْلاّ



Artinya :
“Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.”
Hadits diatas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadits diatas harus dicari didalam kitab-kitab hadits dibawah tema-tema tersebut. Cara ini banyak dibantu dengan kitab “Miftah Kunuz As-Sunnah” yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan[10].
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadits. Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian fiqih secara khusus.
Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadits, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafadz pertamanya. Akan tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama apabila kandungan hadits sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan.[11]



[1]  Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag.ulumulhadis.jakarta:imprintbumiaksara,2013.h127
[2] Muhammad az-Zahrani, Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits, Jakarta: Darul Haq, 2011, cet. Pertama, hlm. 237.z
[3] Ibid.Hlm. 238
[4] bid. hlm. 239
[5] Manna’ Al Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al kautsar. 2008. hlm 19
[6] bid. hlm. 195
[7] M. Agus Sholahudin dan Agus Suyadi.Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2011. Cet. II. Hlm. 196.
[8] Manna’ Al Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al kautsar. 2008. hlm 19
[9] M. Agus Sholahudin dan Agus Suyadi.Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2011. Cet. II. Hlm. 196.
[10] Manna’ Al Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al kautsar. 2008. hlm 193
[11] M. Agus Sholahudin dan Agus Suyadi.Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2011. Cet. II. Hlm. 191

No comments:

Post a Comment