TAKHRIJ HADITS
A.
Pengertian
hadits
Secara
etimologi kata” takhrij” berasal dari akar kata kharaja yakhruju khurujan
mendapat tambahan tasydid atau syiddah pada ra’ (‘ain fi’il) menjadi خرج- يخرج -تخريجا yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan.
Maksudnya, menampakkan sesuatu yang tidak atau sesuatu yang masih tersembunyi,
tidak kelihatan, dan masih samar. Penampakkan dan pengeluaran disini tidak
harus terbentuk fisik yang konkret, tetapi mencakup non fisik yang hanya
memerlukan tenaga dan pikiran seperti makna kata istikhraj yang diartikan
istinbat yang berarti mengeluarkan hukum dari nash / teks alqur’an dan hadits.
Menurut
istilah ada beberapa definisi takhrij yang dikemukakan oleh para ulama,
diantaranya sebagai berikut:
1. Takhrij menurut ulama hadits adalah
ذكرالمؤلفالحديث إسنا دِه في كتا به
Artinya :
“Penyebutan
seorang penyusun bahwa hadits itu dengan sanadnya terdapat dalam
kitabnya.”
Ulama hadits pada umumnya berkata :
هذا الحد يثٌ أخرجه فلا ن
Artinya :
“Hadits in dengan sanadnya disebutkan
fullan dalam kitabnya.”
Kata أخرجهه atau خرجه makananya sama atau أخراج dan تخريج maknanya juga sama yaitu
sebagai mana takhrij diatas.
Kata خرجه البخا ري atau
أخرجه البخا ري sama dengan disebutkan oleh albukharri hadits itu bersama sanadnya dalam
kitabnya. Al bukhari sebgai orang yang melakukannya disebut mukharrij.
2. Arti takhrij lainnya
إيراد المؤلفّ أحاديث كتابب ما بأسا نبيد
لنسه يلتقي مع مؤلف اللآ صل لفي شيخه أو من فوقه
Artinya :
“Seorang penyusun mendatangkan beberapa
hadits dari sebuah kitab dengan menyebut sanadnya sendiri, maka ia bertemu
dengan penyusun asal pada syaikhnya (gurunya) atau orang diatasnya. “
Contoh definisi takhrij kedua ini seperti
perkataan ulama hadits.
Hadis ini disebutkan oleh si fullan dengan sanadnya
sendiri dan bertemu dengan penyusun asal pada syaikhnya atau diatasnya.
Penyusun kedua disebut mustakhraj seperti kitab:
Maksud ungkapan diatas, muslim menyebutkan
hadits-hadits dengan sanadnya dalam kitabnya, kemudian abu uwanah datang
mengeluarkan hadits-hadits tersebut dengan menggunakan sanadnya sendiri, abu
uwana bertemu dengan muslim pada gurunya, atau orang diatasnya sampai dengan
sahabat. Dengan demikian takhrih dan istikhraj maknanya sama sebagaimana
diatas. Demikian juga kitab almustakhraj ‘ala al bukhari yang ditulis oleh abu
bakar alisma’ili. Makananya hadits itu disebutkan oleh al bukhari dengan
sanadnya dalam kitabnya, kemudian dikeluarkannya oleh abu bakar al isma’ili
dengan menggunakan sanad sendiri maka ada pertemuan antara dua orang tersebut
pada gurunya atau orang diatasnya, yaitu gurunya guru dan seterusnya sampai
dengan sahabat. Maksud dari mukhtakhraj ini untuk memperkuat sanad dan
tambahan pada matan.
3. Takhrij adalah Menunjukkan asal beberapa
hadits pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadits) dengan menerangkan
hukum / kualitasnya.
Definisi pertama dilakukan dengan penyusunnya atau orang lain yang ingin
mnyebutkan sumber pengambilan suatu hadits, seperti diberbagai buku hadits atau
syarrahnya. Misalnya seseorang
yang mengutip sebuah hadits dari kitab Al-Bukhari mengatakan pada awal atau
akhir penukilan : akhrajhu albukhari yang berarti hadits ditakhrij oleh Al –
Bukhari dan seterusnya. Atau untuk menyatakan perawi suatu hadits dikatakan
dengan kata : rowahulalbukhhari ( hadits diriwayatkan oleh albukhari) definisi
kedua sudah langka dilakukan orang pada era sekarang, karna menyangkut
keterbatasan dan kemampuan para ahli hadits, disamping keterputusan predikat
sebagai periwayat hadits. Kecuali bila dilakukan dengan sesama muhaddis atau talib
al hadits dalam artian sederhana sedangkan definisi ketiga masih terbuka
lebar kesempatan pada para peneliti hadits untuk mengadakan penelusuran dari
sumber aslinya atau dari induk hadits untuk diteliti sanad dan matannya sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadits riwayah dan dirayah, sehingga dapat menemukan
temuan baru atau temuan yang sama dengan peneliti lain tentang kualitas suatu
hadits.
B. Tujuan dan faedah takhrij
Dalam melakukan takhrij tentunya ada tujuan yang ingin
dicapai. Tujuan pokok dari takhrij yang diingin di capai seorang peneliti
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui eksistensi suatu hadits apakah
benar suatu hadits yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadits atau tidak.
2. Mengetahui sumber otentik suatu hadits dari
buku hadits apa saja yang didapatkan.
3. Mengetahui ada berapa tempat hadits
tersebut dengan sanad yang berbeda didalam sebuah buku hadits atau dalam
beberapa buku induk hadits.
4. Mengetahui kualitas hadits ( maqbul/diterima
atau mardud /tertolak).[1]
Faedah dan manfaat takhrij cukup banyak di antaranya
yang dapat dipetik oleh yang melakukannya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui referensi beberapa buku hadits, dengan takhrij
seseorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadits yag di teliti dan di dalam
kitab hadits apa saja hadits tersebut di dapatkan.
2.
Menghimpun sejumlah sanad
hadits,dengan takhrij seseorang dapat menemukan sebuah
hadits yang akan diteliti di sebuah atau beberapa buku induk hadits, misalnya
terkadang di beberapa tempat di dalam kitab Al-bukhari saja,atau di dalam
kitab- kitab lain.Dengan demikian ia akan menghimpun sejumlah sanad.
3.
Mengetahui keadaan sanad yang
bersambung dan yang terputus dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam
mengingat hadits serta kejujuran dalam periwayatan.
4.
Mengetahui status suatu
hadits.Terkadang ditemukan sanad suatu hadits dha’if, tetapi melalui sanad lain
hukumnya shahih.
5.
Meningkatkan suatu hadits yang
dhoif menjadi hasan li ghayrihi karena adanya dukungan sanad lain yang
seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.Atau meningkatkan hadits hasan menjadi
shahih li ghayrihi dengan di temukannya sanad lain yang
seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.
6.
Mengetahui bagaimana para imam
hadits menilai suatu kualitas hadits dan bagaimana kritikan yang disampaikan.
7.
Seseorang yang melakukan takhrij
dapat menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadits.
C. Sejarah dan Pengenalan Kitab – Kitab Takhrij
1. Sejarah Ilmu Takhrij
Ulama-ulama terdahulu belum begitu membutuhkan ilmu takhrijhadits
\ini, khususnya ulama yang berada pada awal abad kelima, karena Alloh memberi
karunia kepada mereka suka menghafal dan banyak mengkaji kitab-kitab yang
bersanad yang menghimpun hadits-hadits Nabi SAW. Keadaan ini terus berlanjut
sampai beberapa abad, hingga tradisi kecintaan terhadap hafalan dan kajian
kitab-kitab hadits serta sumber rujukan pokoknya menjadi lemah.[2]
Ketika tradisi ini lemah, para ulama selanjutnya mulai menemui kesulitan untuk
mengetahui sumber suatu hadits yang terdapat dalam Kitab Fiqih Tafsir dan
Tarikh, maka muncullah segolongan ulama yang mulai melakukan Takhrijhadits
terhadap karya-karya ilmu tersebut dan menjelaskan kedudukan hadits itu apakah
statusnya shohih. Hasan atau doif. Waktu itulah muncul kutub at-takhrij
(kitab-kitab takhrij).
Kitab-kitab Takhrij generasi pertama, seperti yang
dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan adalah kitab-kitab buah pena al-Khatib
al-Baghdadiy [w. 463 H]. Diantara kitab yang terkenal adalah:
a. Takhrij al-Fawaid al-Muntakhobah
al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Al-Ghoroib,
b. Takhrij al-Fawaid al-Muntakhobah
al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Qosim al-Mahrowani.
Kemudian pada masa selanjutnya, karya-karya dalam bidang ilmu takhrijhadits
semakin meluas hingga mencapai puluhan. Sumbangan karya-karya tersebut tidak
dapat dipungkiri sangat signifikan terhadap perkembangan ilmu-ilmu ke-Islaman
lainnya.
Mahmud At-Tahhan menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi cabang
ilmu takhrij ini sangat penting sekali bagi setiap ilmuan yang bergelut
dibidang ilmu syariah khususnya bagi yang bergelut dibidang ilmu hadits dengan
ilhnmu ini seseorang bisa memeriksa hadis ke sumber asalnya.
2. Pengenalan kitab-kitab takhrij
Berikut adalah kitab-kitab takhrij
yang termasyhur.
a.
Nashb ar-Royah li Ahadits al-Hidayah karya Abdulloh bin Yusuf al-Zaila’i
(w.762 H).
Kitab ini mentakhrijhadits-hadits yang dijadikan oleh
al-Allamah Ali bin Abi Bakar al-Marghinani al-Hanafi (w.593 H) dalam kitab al-Hidayah.
Kitab ini merupakan kitab fikih Hanafi,sedangkan kitab takhrij ini
merupakan yang paling luas dan yang paling dikenal dibanding kitab takhrij
lainnya.
Al- Kattani berkata, “kitab ini
adalah kitab takhrij yang sangat bemanfaat sekali dijadikan patokan oleh
kalangan pensyarah kitab al-Hidayah, bahkan Ibnu Hajar banyak mengambil
manfaat dari buku dalam disiplin ilmu hadits, nama-nama perawi dan luasnya pandangan beliau
tentang haditsmarfu’
a.
Takhrij Ahadits al-Mukhtashar al-Kabir karya Muhammad bin Ahmad
Abd al-Hadi al-Maqdisy (w. 744 H).
b.
Takhrij Ahadits al-Kasysyaf li az- Zamakhsyari karya Abdullah bi
Yusuf az-Zaila’i. Ia sudah dicetak.
c.
Irwa’ al Ghalil fi Takhtij Ahadits Manar as-Sabil, karya
asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani.
d.
At-Talkhish al-Habir, Takhrij Ahadits al-Wajiz al-Kabir
fi Li ar-Rifa”i, ditulis olehal-Hafidz Ibnu Hajar, sudah dicetak.
e.
Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, karya al-Hafidz Ibnu Hajar.
f.
Al-Badr al-Munir fi al-Takhrij al-Ahaditz wa al-Atsar
al-Waqi`ah fi al-Syarh al-Kabirli ar-Rafi’i [Abu
al-Qasim Abd al-Karim Ibn Muhammad al-Qazwayniy al-Rafi`iy al-Syafi`iy – w.623
H], karya Umar Ibn Ali Ibn al-Mulqan (w. 804 H); telah ditahqiq di dalam risalah
Majister di Universitas Islam Madinah.
g.
Al-Mughniy `an Haml al-Ashfar fi al-Ashfar fi Takhrij Ma fi
al-Ihya’ min al-Akhbar [al-Ghazaliy], karya al-Hafizh Zayn
al-Din Abd al-Rahim Ibn al-Husayn al-Iraqiy (w. 806 H);
h.
Al-Takhrij al-Ahadits al-latiy Yusyiru Ilayha al-Tirmidziy fi Kulli Bab,
karya al-Iraqiy;
i.
Ad- Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, karya
al-Hafidz Ibnu Hajar.
j.
Tuhfah ar-Rawi fi Takhrij Ahadits al-Baidhawi, karya
al-Hafidz Abdurra’uf al-Munawi.
Diantara kitab-kitab takhrij
yang disebutkan di atas yang sudah banyak dipergunakan oleh penuntut ilmu,
yaitu:Nashb ar-Royah li Ahadits al-Hidayah dan At-Talkhish al-Habir, Takhrij
Ahadits al-Wajiz al-Kabir fi Li ar-Rifa”i[4].
Dalam melakukan takhrij, seseorang memerlukan
kitab-kitab tertentu yang dapat dijadikan pegangan atau pedoman sehingga dapat
melakukan kegiatan takhrij secara mudah dan mencapai sasaran yang
dituju. Diantara kitab-kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam mentakhri jadalah:
a) Usul al – Takhrij wa Dirasat Al –
Asanid oleh Muhammad Al-Tahhan,
b) Husul al-Tafrij bi Usul al-Takhrij oleh Ahmad ibn Muhammad al-Siddiq
al- Gharami,
c) Turuq TakhrijHadits Rasul Allah Sawkarya
Abu Muhammad al-Mahdi ibn `Abd al-Qadir ibn `Abd al Hadi,
d) Metodologi Penelitian Hadits Nabi oleh Syuhudi
Ismail.
e) al-Mu’jam al-Mufharos li Alfazi Ahadis al-Nabawi oleh A.J. Wensinck
f) Miftah Kunuz
al-Sunnah oleh
pengarang yang sama diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd Baqi.
g) Mausu’ah
Athraful Hadis an-Nabawi oleh Zaglul.
h) Al-Istiab oleh Ibnu Abd Barr
i) Usul al-Ghabah oleh Abd Atsir
j) Al-Ishobah oleh Ibn Hajar al-Asqolani.
k) Al-Jarh wa
at-Ta’di juga karya
Ibnu Hajar.
D. Metode Takhrij
Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat
dijadikan sebagai pedoman, yaitu;
1.
Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat
Metode ini adalah metode dengan cara mengetahui nama sahabat
yang meriwayatkan hadits, adapun kitab-kitab pembantu dari metode ini adalah:
a)
Al-Masanid (musnad-musnad).
Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama
sahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab
ini hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan
musnad tersebut.[5]
Musnad yang dapat digunakan adalah; musnad Ahmad ibn Hanbal , Musnad Dawud Al
Tayalisi, Musnad Al Humaidi, Musnad Abu Hanifah, Musnad As Syafi’i, dsb. Cara
penggunaannya adalah; misalnya sahabat yang meriwayatkan hadits itu bernama
Ali, maka pencarian atau penelusuran dilakukan melalui huruf ‘ayn.
b)
Kitab-kitab Al-Atraf.
Kebanyakan kitab al-atraf disusun
berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf
kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat
merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi
untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap. Di antara kitab-kitabAtraf yang
dapat dipergunakan adalah; Atraf As Shohihayn, karya Al Wasiti dan Al Dimashqi,
Tuhfatul Al Ashrof bi Ma’rifat Al Atraf
karya Al Mizzi yang merupakan Syarah kitab Al Ashraf bi ma’rifat Al Atraf karya
ibn ‘Asakir, Ithaf Al Mahram bi Atraf Al ‘Ashrah karya Ibn Hajar Al Asqalani,
dsb. Cara penggunaan kitab ini seperti seperti cara menggunakan kitab musnad,
artinya disusun secara alfabetis Hija’iyah.
c)
Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam).
Susunan hadits di dalamnya
berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf
kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk
haditsnya. Dan kitab mu’jam yang dapat kita gunakan adalah; mu’jam Al Kabir,
Mu’jam Al Awsat, dan Mu’jam Al Saghir yang kesemuanya adalah karya Al Tabrani.
Juga kitab Mu’jam As Shahabah karya Al Mawasili, Mu’jam As Sahabh karya
Al-Hamdani. Dan cara penggunaannya tidak
jauh berbeda dengan kitab musnad
dan kitab Atraf.
Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat
diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari metode ini adalah ia tidak dapat
digunakan dengan baik, apabila perawi yang hendak diteliti itu tidak diketahui.[6]
2.
Takhrij Melalui Lafadz Pertama Matan Hadits
Metode takhrijhadits menurut lafadz pertama, yaitu
suatu metode yang berdasarkan pada lafadz pertama matan hadits, sesuai dengan
urutan huruf-huruf hijaiyah danal fabetis sehingga metode ini
mempermudah pencarian hadits yang dimaksud[7].
Misalnya, apabila akan men-takhrijhadits yang berbunyi;
الشَّدِيْدبِالصُرْعَةِ ُلَيْسَ
Untuk mengetahui lafadz lengkap dari penggalan matan tersebut,
langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan
awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun
oleh Muhammad fuad Abdul Baqi, penggalan hadits tersebut terdapat di halaman
2014. Bearti, lafadz yang dicari berada pada halaman 2014 juz 4. Setelah
diperiksa, bunyi lengkap matan hadits yang dicari adalah
عَنْاَبِيْهُرَيْرَةَأَنَّرَسُوْلَاللّهِصَلَّىاللّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَاَلَ: لَيْسَالشَّدِيْدُبِاالصُرْعَةِاِنَّمَاالشَدِيْدُالَّذِيْيَمْلِكُنَفْسَهُعِنْدَالغَيْبِ
Artinya:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran)
orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi,
tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalh orang yang mampu menguasai
dirinya tatkala dia marah”.
Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi
seorangmukharrij untuk menemukan hadits-hadits yang dicari dengan cepat. Akan
tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan
atau perbedaan lafadz pertamanya sedikit saja, maka akan sulit untuk menemukan
hadits yang dimaksud.
Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan huruf kamus, misalnya: “Al-Jami’u
Ash Shoghir min Ahadits Al-Basyir An Nadzir” karya As Suyuti[8].
3.
Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadits
Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang
terdapat dalam matan hadits, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam
metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian
haditsnya sehingga pencarian hadits-hadits yang dimaksud dapat diperoleh lebih
cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitik beratkan
pencarian hadits berdasarkan lafadz – lafadznya yang asing dan jarang
penggunaanya.
Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al – Mu`jam Al –
Mufahras li Al-faz Al – Hadit An – Nabawi. Kitab ini mengumpulkan
hadits-hadits yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadits sebagaimana
yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan
Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam Ahmad[9]
Contohnya pencarian hadits berikut;
اِنَّالنَّبِيَصَلَّىاللّهِعَلَيْهِوَسَلَّمَنَهَىعَنْطَعَامِالْمُتَبَارِيَيْنِأَنْيُؤْكَلَ
Dalam pencarian hadits di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri
melalui kata-kata naha (نَهَى)
ta’am(طَعَام),
yu’kal (يُؤْكَلْ)
al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَينِ).
Akan tetapi dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk
menggunakan kata al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَيْنِ) karena kata
tersebut jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadits, penggunaan kata
tabara (تَبَارَى)
di dalam kitab induk hadits (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali.
Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadits dapat dilakukan
dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan
dipergunakan sebagai alatuntuk mencari hadits. Sebaiknya kata kunci yang
dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin asing kata
tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadits. Setelah itu, kata tersebut
dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar
tersebutdicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jammenurut urutannya secara
abjad (huruf hijaiyah).
Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang
terdapat di dalam hadits yang akan kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah
kata kunci tersebut akan ditemukan hadits yang sedang dicari dalam bentuk
potongan-potongan hadits (tidak lengkap). Mengiringi hadits tersebut turut
dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadits itu yang dituliskan dalm
bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian
hadits dan memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang
terdapat dalam matan hadits. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa
kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata
sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.
4.
Takhrij Berdasarkan Tema Hadits
Metode ini berdasrkan pada tema dari suatu hadits. Oleh karena
itu untuk melakukan takhrijdengan metode ini, perlu terlebih dahulu
disimpulkan tema dari suatu hadits yang akan di – takhrijdan kemudian
baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun menggunkan
metode ini. Seringkali suatu hadits memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus
yang demikian seorang men – takhrij harus mencarinya pada tema – tema
yang mungkin dikandung oleh hadits tersebut. Contoh :
بُنِيَالاِسْلاَمُعَلَىخَمْسٍشَهَادَةِانْلاَاِلهَاِلاَّاللّهُوانَّمُحَمَّدّارَسُوْلُاللَّهِوَاِقَامِالصّلاَةِوَايْتَاءِالزَّكاَةِ وَصَوْمِرَمَضَانَوَحَجّالْبَيْتِمَنِاسْتَطَاعَاِلَيْهِسَبِيْلاّ
Artinya :
“Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan
shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji
bagi yang mampu.”
Hadits diatas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid,
shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadits
diatas harus dicari didalam kitab-kitab hadits dibawah tema-tema tersebut. Cara
ini banyak dibantu dengan kitab “Miftah Kunuz As-Sunnah” yang berisi
daftar isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan[10].
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa takhrij dengan
metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadits. Untuk itu
seorang mukharrij harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam
secara umum dan kajian fiqih secara khusus.
Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut
pengetahuan akan kandungan hadits, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafadz
pertamanya. Akan tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama
apabila kandungan hadits sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia
tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan.[11]
[1] Dr. H. Abdul Majid Khon,
M.Ag.ulumulhadis.jakarta:imprintbumiaksara,2013.h127
[2] Muhammad az-Zahrani, Ensiklopedia
Kitab-kitab Rujukan Hadits, Jakarta: Darul Haq, 2011, cet. Pertama, hlm.
237.z
[3] Ibid.Hlm. 238
[4] bid. hlm. 239
[5] Manna’ Al Qaththan.
Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al kautsar. 2008. hlm 19
[6] bid. hlm. 195
[7] M. Agus Sholahudin dan
Agus Suyadi.Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2011. Cet. II.
Hlm. 196.
[8] Manna’ Al Qaththan.
Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al kautsar. 2008. hlm 19
[9] M. Agus Sholahudin dan
Agus Suyadi.Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2011. Cet. II. Hlm.
196.
[11] M. Agus Sholahudin dan
Agus Suyadi.Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2011. Cet. II.
Hlm. 191
No comments:
Post a Comment